ETALASE-LANURA

Merajut info, menuai setetes pengetahuan


Tinggalkan komentar

Anomali Politik

Pemilihan umum (pemilu) serentak 2019 ini, tinggal menghitung hari. Gelombang pesan melalui berbagai media social dan aplikasi whathsaap dan lain sejenisnya, dengan beragam isu terus menghantui.

Dominasi politik kekuasaan, terus menghias dikapitalisasi dengan berbagai “bahasa” melalui media sosial (facebook, whatsApp, twitter, dan lain sejenisnya). Perselingkuhan politik mengatasnamakan agama, terus menerus dinarasikan sebagai strategi dan taktik mengejar kavling – kavling kekuasaan.

Ruang publik yang sejatinya menjadi “hak milik” pemilik kedaulatan, justru terkikis karena nilai – nilai etika politik berbangsa dan bernegara, nyaris berada pada titik nadir.

Konstatasi politik nasional Indonesia ini, sedang gundah gulana. Institusi demokrasi, sibuk dengan panggung pencitraannya, baik itu di ranah suprastruktur maupun infrastruktur politiknya. Peran dan fungsi yang sejatinya dijalankan sebagaimana mestinya, terseok – seok karena digelayuti kepentingan yang sempit.

“Drama politik” basa basi perjuangan untuk kepentingan rakyat, terus dirajut dan dihiasi dengan berbagai argumentasi yang terdengar indah, namun pembumiannya, entahlah. Akan tetapi, sesungguhnya merajut selamatkan asset – asset kekuasaan yang ada dan merebut sumber – sumber daya kekuasaan lainnya, justru yang terjadi.

Jadi, basisnya, pengejaran kepentingan tak terbantahkan. Padahal, politik itu sebagai pengejaran kepentingan umum (bonnum commune), dimana politik adalah pengelolaan kehidupan dalam rangka public goals.

Pertama, rentetan problematika aspirasi masyarakat yang berkembang, sejatinya disambut dengan “riang gembira’ oleh institusi demokrasi.Kontribusi lembaga demokrasi senantiasa amat diperlukan kualitas perannya dalam merajut dan mengangkat martabat hak – hak rakyat.

Kedua, institusi – institusi demokrasi itu, berperan aktif mengembangkan nilai – nilai demokrasi secara substantif. Bukan berhenti di tingkat prosedural. Dalam arti, semua hak-hak rakyat terlindungi dan dijamin eksistensinya, karena lembaga demokrasi tanpa disangga oleh rakyat pun tidak mempunyai kekuatan yang berarti.

Persoalannya, politik mengejar kekuasaan bersembunyi dibalik sentimen – sentimen SARA dengan narasi – narasi kebencian dan hoaks, merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dewasa ini. Haruskah seperti itu dalam berjuang untuk memperoleh kekuasaan (di pemerintahan)?

Bila, memang itu yang diideologisasikan dan dikapitalisiasi dalam sikap tanduk politiknya, berarti ini alarm kematian demokrasi.

Inilah, persoalan yang tengah menghantui pergulatan politik baik di dunia nyata, lagi – lagi di dunia maya. Hujatan – hujatan kebencian terus diproduksi dan dikapitalisasi di berbagai media sosial (medsos) umumnya, dan secara khusus pun dalam perilaku tindakan politisnya.

Demokrasi dijadikan rujukan untuk membenarkan sikap dan perilakunya yang           “merasa benar”, tidak sebaliknya “benar merasa”. Ironis memang! Nilai – nilai demokrasi dijadikan tameng untuk membenarkan tindakannya.

Anomali memang! Hegemoni politik kelompok, “membuldoser” lainnya sedang “diideologisasikan” dalam sikap dan tindak tanduknya di dataran berbangsa dan bernegara ini.  Inilah tantangan atau ancaman dalam panggung politik kebangsaan Indonesia?


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Kesenjangan Persepsi Pembangunan Perkotaan

Pembangunan sesungguhnya merupakan never ending process (proses yang tak pernah berakhir). Namun demikian, perkembangan dan pemasyarakatan secara terus menerus nilai – nilai pembangnan atau kearifan pembangunan tidak bisa lepas dari adanya kepedulian dan konsistensi terhadap muatan – muatan yang mengitarinya, seperti persoalan sosial, ekonomi, budaya, lingungan, dan sejenisnya.


Tinggalkan komentar

Kabinet Kerja

KERINDUAN publik atas penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, tampaknya telah menjadi keniscayaan tak bisa ditutupi. Hal ini terjadi karena selama pemerintahan koalisi partai-partai (era reformasi), selalu terulang transaksional dalam “tarik menarik” jabatan politis strategis.

Politik transaksional dalam mengisi jabatan menteri, atmosfernya selama ini terus menerus “mengotori” udara politik nasional yang secara sadar atau tidak membawa dampak atas apatisme rakyat terhadap pemerintahan.

Itu sebabnya, nomenklatur kabinet kerja (zaken cabinet) hari-hari ini terus didengung-dengungkan oleh kehendak publik. Keinginan publik terhadap presiden terpilih, sejatinya tidak terjebak pada “permainan politik” bagi-bagi kursi menteri semata, tetapi dalam mengarsiteki kabinetnya didasarkan atas kualifikasi kompetensi dan profesionalitas untuk pos-pos menterinya.

Perlu diingat, selama ini era reformasi hasil pemilu sejak 1999 hingga pemilu terakhir 2014, tidak ada satupun partai politik yang memperoleh suara secara mayoritas absolut, dan menguasai parlemen. Realitas politik itulah, secara sadar atau tidak, khususnya sejak Pemilihan Presiden 2004, tidak ada satu parpol pun yang memenuhi persyaratan untuk dapat mengusung capres-cawapresnya. Oleh karena itu, maka koalisi partai untuk mencalonkan capres – cawapres agar memenuhi persyaratannya menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Fakta koalisi partai dalam sistem pemerintahan presidential dewasa ini, memang harus diakui (telah) menjadi catatan sejarah kepolitikan Indonesia. Namun, titik simpul persoalannya, bukan karena ada atau tidak adanya koalisi dalam pemerintahan tersebut, tetapi bagaimana menempatkan orang-orang dalam kabinet pemerintahan presiden terpilih, menjadi “titik temu” antara kehendak publik dan pemimpin nasionalnya itu dalam penyelenggaraan pemerintahannya berjalan efektif melayani kepentingan umum (bonnum commune).

Kecerdasan Politik

Karena tidak adanya parpol yang suaranya mayoritas mutlak, maka diperlukan kecerdasan politik presiden terpilih dalam menyusun kabinetnya untuk merealisasikan visi misinya. Presiden terpilih “menyaring” orang-orang yang kompeten dengan profesionalitas dan integritasnya yang dapat dipertanggungjawabkan bekerja  keras untuk kepentingan publik.

Perlu disadari pula, presiden terpilih dengan situasi politik koalisi partai, tak dihindarkan adanya orang-orang atau kader-kader partai yang menempati posisi di kabinetnya. Pertanyaannya, apakah publik dapat mengapresiasinya atau justru sebaliknya? Di sini, kita tidak bisa “menghakimi” begitu saja terhadap kader-kader partai dalam menduduki jabatan sebagai menteri. Dalam arti, dikotomi kader partai atau nonpartai sejatinya ditutup rapat-rapat terlebih dahulu, agar tidak terjerumus pada sinisme sudut pandang terhadap kader-kader partai seolah-olah tidak “ada” yang professional. Profesionalitas seseorang itu bukan karena orang tersebut berada di dalam partai atau di luar partai.    

Dengan demikian, mendudukan seseorang pada jabatan menteri pada kabinet pemerintahan presidential, sesungguhnya merupakan hak prerogratif presiden yang sudah barang tentu atas pertimbangan yang matang sesuai dengan kualifikasi yang telah ditentukannya.

Seiring dengan itu, tidakkah presiden terpilih “bebas dari intervensi” orang-orang partai yang mensukseskannya? Memang, ketika pandangan publik masih sinis terhadap elite-elit partai (politik) yang dianggap haus kekuasaan, seakan tidak ada “tempat” bagi kader partai untuk duduk di kabinet. Namun sedari awal itu sudah harus disadari oleh presiden terpilih, bahwa hal itu bukan jadi maenstrem hambatan utama, karena pengangkatan (dan pemberhentian) menteri memang telah menjadi hak prerogratifnya presiden yang niscaya harus dihormati oleh partai-partai koalisi.

Pemerintahan yang efektif melayani kepentingan masyarakat memang ditunggu-tunggu publik. Harapan publik atas presiden terpilih membentuk kabinet kerja, bukan “isapan jempol” semata, justru perlu dibuktinyatakan sehingga tingkat kepercayaan publik terhadap jalannya roda pemerintahan diapresiasinya dengan baik.

Dengan demikian, soal kabinet itu sesungguhnya bukan terletak pada kader partai atau nonpartai, tetapi kabinet kerja yang jadi impian publik terrealisir. Dalam arti, pembantu-pembantu presiden dalam pemerintahan presidential itu siap kerja keras menjalankan program-program kerja yang telah ditetapkan sebagai turunan visi misinya.

Bila memang dalam kabinet tersebut menteri yang diangkat presiden dari kader partai, maka menteri yang bersangkutan segera menanggalkan egoisme politiknya. Pengabdian senyatanya sesungguhnya terhadap rakyat pemilik kedaulatan negara ini.

Persoalan negara bangsa ini cukup kompleks, setidak-tidaknya entah itu soal ekonomi yang dilansir masih lambat pertumbuhannya (apalagi pemerataannya), sosial budaya yang nyaris berada pada titik nadir karena tidak ada kepercayaan sesama anak bangsa (dalam arti, krisis saling menghormati dan menghargai perbedaan-perbedaan), dan soal pemerataan pendidikan yang tidak kalah urgennya, karena memang masih terjadi perbedaan yang “menganga” antara provinsi dan provinsi lainnya (termasuk di dalamnya antara kabupaten/kota di dalam satu provinsi).

Oleh karena itu, komitmen menjalankan pemerintahan yang efektif butuh orang-orang di kabinet pemerintahan periode 2014 – 2019, yang dengan tulus menanggalkan kepentingan politik sempit, seperti kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Tanpa menginsyafi itu, hanya penumpukkan persoalanlah yang terus menghiasi pemerintahannya.

Tantangan pemerintahan presiden terpilih dalam memaknai kabinet kerja, di samping mengangkat menteri-menteri yang kompeten dan professional, juga harus diingat adalah ditopang oleh aparatur birokrasi pada masing-masing kementerian/lembaga itu yang memang “melepaskan baju” kepentingan dirinya (orienntasi kekuasaan).

Tuntutan harapan publik terhadap kabinet kerja tidak berhenti pada menteri-menterinya saja, akan tetapi, aparatur birokrasi yang menjalankan kebijakan-kebijakan kementerian/lembaga mesti menjadi perhatian pula, karena aparatur birokrasi itu yang menjalankan kebijakan-kebijakan program pemerintahan.

Bila aparatur birokrasinya tidak berorientasi pada pelayanan kepentingan umum, maka dapat saja program-program yang sudah ditentukan sebagai turunan dari visi misi presiden terpilih tersumbat atau mandeg. Dengan demikian, struktur birokrasi di masing-masing kementerian/lembaga pun dituntut memiliki kompetensi dan profesionalitas yang teruji, bukan aparatur birokrasi yang justru berorientasi pada kekuasaan. Toh kapitalisasi birokrasi di negara Indonesia ini masih menjadi persoalan yang belum mereformasi dirinya.*

Sumber : tulisan dimuat di HU Pikiran Rakyat, 12 Agustus 2014


Tinggalkan komentar

Parpol, Aktor Peserta Pilkada

 

SALAH satu fungsi partai politik (parpol) secara niscaya adalah rekruitmen politik (kader partai) untuk menjadi salah satunya (bakal) calon kepala daerah – wakil kepala daerah, dalam (rangka) proses pengisian jabatan pimpinan daerah (pemerintahan) melalui proses pemilihan secara demokratis.

Dalam konteks ini, parpol secara sadar sudah mulai melakukan proses penjaringan bakal calon kepala daerah – wakil kepala daerah dalam Pilkada Serentak tahun 2018. Pilkada Serentak tahun 2018 diselenggarakan pada 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) sudah di ambang pintu.

Dan parpol sebagai institusi demokrasi dalam penjaringannya sesuai dengan mekanisme internal parpol masing – masing, yang bisa jadi setiap parpol memiliki kekhasan (perbedaan) satu sama lain dalam rekruitmen bakal calon kepala daerah – wakil kepala daerah. Persoalannya, sudahkah parpol menyiapkan kader – kader (terbaiknya) dalam ikut serta bertarung secara demokratis dalam pilkada?

Parpol mempunyai tanggung jawab sebagai aktor utama peserta pilkada menyiapkan kadernya untuk dipilih oleh rakyat di daerah masing – masing. Mental untuk menyiapkan kadernya abai, berarti parpol tersebut gagal dalam kaderisasi. Inilah tantangan bagi parpol untuk menyiapkan kader terbaiknya.

Pilkada Serentak tahun 2018, merupakan arena demokratis dimana rakyat pemilih menentukan alternatif pilihan kepala daerah – wakil kepala daerah, untuk memimpin daerahnya. Karena itulah, parpol sudah sejatinya (untuk mengembalikan citranya di mata publik) harus benar – benar “menyuguhkan” calon kepala daerah yang mumpuni untuk mengembangkan, dan melaksanakan pemberdayaan pembangunan masyarakat dan daerahnya ke arah yang baik seiring dengan kontekstual daerahnya maisng – masing.

Dengan demikian, secara prinsip, setiap parpol dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Namun parpol yang punya hak untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah itu, demi tertib “aturan main” pun, atau prinsip keadilan harus sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pertama, parpol bisa sendiri mengajukan pasangan calon kepala daerah bilamana memiliki kursi 20 persen di legislatif daerah (DPRD) atau 25 persen suara hasil pemilu. Kedua, gabungan parpol (baik yang memiliki kursi di legislatif daerah maupun tidak memiliki kursi) mempunyai hak untuk mengajukan pula pasangan calon kepala daerah dengan ketentuan minimal tadi (20 persen kursi atau 25 persen suara hasil pemilu). Dengan demikian, dalam pemilihan kepala daerah, institusi demokrasi yang mempunyai hak dan kewajiban mengajukan pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah, adalah parpol.

Menyimak fungsi parpol yaitu merekrut calon pemimpin daerah, mestinya ini menjadi bagian integral parpol jauh – jauh hari menyiapkan kadernya untuk bertarung dalam pilkada serentak. Sehingga, tidak ada alasan parpol tidak bisa menyiapkan kadernya, kalau memang parpol tersebut secara sungguh – sungguh melakukan kaderisasinya secara baik dan benar. Kenapa demikian?

Pertama, kalau kita tengok  pada Pilkada Serentak tahun 2015 dan 2017, banyak daerah, hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal). Dalam Pilkada Serentak 2015 dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 13 daerah hanya ada satu pasangan calon. Dan selanjutnya, KPU saat itu memperpajang masa pendaftaran untuk 13 daerah tersebut, kendati hasilnya dari 13 daerah yang masa pendaftarannya diperpanjang, hanya 6 daerah saja ada yang melakukan pendaftaran pasangan calon, dan sisanya 7 daerah masih tetap calon tunggal. Begitu pun di Pilkada Serentak 2017, dari 101 daerah, 9 (Sembilan) daerah, hanya memiliki calon tunggal.

Dari fakta tersebut, kondisi ini, diakui atau tidak, ada semacam hegemoni atau semacam “konspirasi politik” parpol, yang secara sengaja, sehingga rakyat pemilik kedaulatan di daerah tidak diberi kebebasan alternatif pilihan untuk menentukan pemimpin daerahnya.

Kedua, parpol sebagai institusi demokrasi yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, dengan sadar “tidak ikut” partisipasi dalam menyiapkan kadernya untuk bertarung dalam pilkada tersebut. Ini ironis, dengan menggebu – gebunya parpol berjuang untuk memperoleh kekuasaan politik, akan tetapi dalam pilkada tidak ikut serta mengajukan calon kepala daerah (baca: mengusung sendiri atau gabungan parpol). Dalam bahasa lain, parpol – parpol itu, diakui atau tidak, tidak siap bersaing atau kompetisi dalam pilkada serentak (2015 dan 2017) dengan beragam macam alasanya, seperti antara lain karena incumbent (petahana) misalnya, yang diasumsikan sangat kuat, dan tidak mempunyai kader yang mumpuni untuk memimpin daerah, serta juga argumen – argumen irasional lainnya pula.

Dengan demikian, calon tuggal dalam pilkada serentak, bukan merupakan hal yang menggembirakan bagi kehidupan sirkulasi pemilihan pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah secara demokratis. Justru diakui atau tidak diakui, parpol memperkosa hak – hak politik rakyat untuk menentukan pilihannya dalam memlih pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah tersebut. Sebab, rakyat yang sudah memiliki hak pilih dan mempunyai kebebasan untuk menentukan pemimpin daerahnya terkerangkeng dengan disuguhkan calon tunggal.

Dari titik simpul persoalan itulah, maka untuk Pilkada Serentak tahun 2018 yang diikuti 171 daerah, sekali lagi bahwa parpol sebagai institusi yang berhak mengajukan pasangan calon tersebut, merupakan momentum mengembalikan citra (kepercayaan) parpol di mata publik dengan menyuguhkan pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerahnya yang mumpuni dalam mengelola kehidupan pemerintahan dan pembangunan daerah serta memberdaykan masyarakatnya dengan program – program yang rasional komprehensif dapat dilaksanakan.

Itu sebabnya, belajar ambil hikmah dari pilkada serentak sebelumnya, tampaknya pilkada serentak tahun 2018 bagi parpol – parpol sebagai aktor utama peserta pilkada, harus menyiapkan dan menyediakan pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah yang menjadi alternatif pilihan masyarakat di daerahnya masing – masing. Bukan sebaliknya, pilkada serentak di banyak daerah yang pasangan calonnya tunggul. Kalau ini yang terjadi di Pilkada Serentak 2018, berarti inilah merupakan potret fungsi parpol dalam rekruitmen politik (pemimpin) sebagai kegagalan kaderisasi menyiapkan kader – kader (politik) pemimpin untuk jabatan kepala daerah. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada alasan bagi parpol atau gabungan parpol tidak menyiapkan kader – kadernya untuk bersaing dalam pilkada serentak.*

 


Tinggalkan komentar

NU-Muhammadiyah Sepakat Tolak Khilafah HTI — ArrahmahNews

Sabtu, 20 Mei 2017 ARRAHMAHNEWS.COM, JAKARTA – Kemunculan kelompok radikal dan intoleran yang ingin merubah wajah Indonesia menjadi Negara Islam merupakan masalah yang serius saat ini. Disebut serius karena perilaku kelompok itu diikuti ujaran kebencian dan kadang berujung kejahatan dengan kebencian yang nyata pula di ruang publik. Harus jujur diakui bahwa kemunculan kelompok radikal dan […]

melalui NU-Muhammadiyah Sepakat Tolak Khilafah HTI — ArrahmahNews


Tinggalkan komentar

Wajib Pajak Butuh Waktu Lama untuk Kumpulkan Administrasi Tax Amnesty — PEMERIKSAANPAJAK.COM

JAKARTA – Pemerintah telah menerbitkan payung hukum perpanjangan waktu administrasi program tax amnesty untuk periode pertama. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Dirjen Jenderal Pajak Nomor 13 Tahun 2016 yang berbunyi tentang tata cara penerimaan surat pernyataan pada minggu terakhir periode pertama penyampaian surat pernyataan. Oleh karena itu, bagi wajib pajak (WP) yang ingin ikut pada […]

melalui Wajib Pajak Butuh Waktu Lama untuk Kumpulkan Administrasi Tax Amnesty — PEMERIKSAANPAJAK.COM


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Kinerja Pemerintahan Jokowi Pasca-reshuffle Jilid Kedua

SECARA definitif (by definition) maupun substantif, demo krasi menitikberatkan peran publik dalam proses politik.Pemerintahan yang demokratis ialah pemerintahan yang mengakomodasi partisipasi publik dalam setiap proses pembuatan kebijakan (Lembaga Survei Indonesia, 2010). Namun, proses perumusan kebijakan publik dalam mengagregasi kepentingan warga ialah masalah yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai institusi politKinerja Pemerintahan Jokowi Pasca-reshuffle Jilid Keduaik, mulai partai politik, parlemen, menteri atau kabinet, hingga presiden.

Para ahli ilmu politik mengenalkan konsep responsiveness, yaitu warga memberikan aspirasi atas suatu kebijakan dan partai politik atau pemerintah memberikan tanggapan berupa paket kebijakan hubungan antara masyarakat dan pemerintah yang disebut representasi (Jacobs and Shapiro, 2000). Dengan demikian, akuntabilitas ialah pada saat warga menilai balik proses implementasi kebijakan itu serta menuntut pertanggungjawaban pemerintah (Przworksi, Stokes and Manin, 1999).

Oleh karena itu, evaluasi publik menjadi krusial karena demokrasi mengandaikan setiap warga agar punya hak yang sama untuk menilai baik buruknya kinerja pemerintah.Oleh karena itu, akuntabilitas publik menjadi masalah yang krusial di pemerintahan yang demokratis.Untuk itu, Indikator Politik Indonesia melaku kan survei pada 1-9 Agustus 2016 dengan metode multistage random sampling. Dengan mewawancarai 1.220 responden secara tatap muka, margin of error survei ini sebesar 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.

Survei ini ingin menggali penilaian warga atas kinerja pemerintahan Jokowi jelang dua tahun pascadilantik sebagai presiden? Bagaimanakah evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah pasca-reshuffle jilid kedua?
Sejauh mana publik yakin perombakan kabinet mampu meningkatkan kinerja pemerintahan? Bagaimana sikap publik terhadap bergabungnya Golkar dan PAN ke pemerintahan? Kepuasan publik Pada Agustus 2016, survei Indikator Politik Indonesia menemukan mayoritas warga (68%) merasa puas dengan kinerja Jokowi sebagai presiden.Tingkat kepuasan warga terhadap Jokowi ini tertinggi sepanjang hampir dua tahun Jokowi menjabat sebagai presiden. Tingkat kepercayaan pada kemampuan presiden Jokowi untuk memimpin bangsa ini juga meningkat menjadi 74%. Hal ini modal psiko-politik yang sangat penting bagi stabilitas dukungan pada kepemimpin an nasional terlepas dari banyak masalah yang dihadapi bangsa ini.

[Lihat grafik 1: Paralel antara Kepuasan atas Kinerja Jokowi dan Persepsi atas Berbagai Kondisi (%)] Evaluasi atas kinerja Presiden berhubungan erat dengan persepsi atas berbagai kondisi (tabel 1). Namun dari berbagai kondisi yang dinilai, persepsi publik terhadap kinerja Presiden Jokowi paling kuat hubungannya dengan persepsi atas kondisi ekonomi (r=0,841). Dan sentimen atas kondisi ekonomi nasional ini sangat terkait dengan inflasi yang secara reguler dirilis BPS: Inflasi naik, sentimen negatif naik; inflasi turun, sentimen negatif turun.

Ketika ditelisik lebih jauh, kinerja pemerintah Jokowi yang dinilai paling mengalami kemajuan ialah pembangunan jalan-jalan umum, selanjutnya membuat pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas yang terjangkau oleh warga pada umumnya. Kerja pemerintah juga dinilai mengalami kemajuan dalam membangun sarana transportasi umum.

[Lihat tabel 1: Kinerja Pemerintah Jokowi dalam Menanggulangi Berbagai Masalah (%)] Namun, masih banyak warga yang menilai kerja pemerintah Jokowi `tidak ada perubahan’ dalam menjamin kesetaraan hak-hak warga negara apa pun latar belakangnya, meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi warga, menekan tingkat yang rendah korupsi uang negara. PR besar yang harus segera ditangani ialah mengurangi pengangguran, mengurangi jumlah orang miskin, dan menyediakan lapangan kerja (tabel 1).

Reshuffle dan rekonsolidasi politik Survei juga menemukan di antara publik yang tahu bulan lalu terjadi reshuffle kabinet (53%), mayoritas (74%) merasa yakin bahwa reshuffle tersebut akan membuat kinerja pe merintah Jokowi menjadi lebih baik.

Di antara menteri-menteri `baru’ hasil reshuffle kabinet Jokowi, yang mendapat kepercayaan paling tinggi dari masyarakat ialah Sri Mulyani (Menteri Keuangan). Reshuffle juga menjadi tanda me nguatnya dukungan politik partai partai ke Jokowi. Mayoritas publik (81,5%) berpendapat bahwa koalisi pemerintah yang makin membesar tersebut sebagai suatu yang positif (baik). Alasan utamanya, `presiden akan lebih mudah menjalankan pe merintahan karena mendapatkan kekuatan mayoritas di DPR’. Ini me nunjukkan masyarakat Indo nesia menyukai harmoni.

Ketika ditanyakan secara le bih spesifik atas bergabungnya Partai Golkar di pemerintahan Jokowi, 51,4% responden setuju atau sangat setuju dengan langkah Golkar tersebut. Namun, publik yang yakin bahwa Partai Golkar akan terus mendukung pemerintahan Jokowi jumlahnya hanya sekitar 33,9%. Artinya, publik masih ragu dengan komitmen Golkar mengawal pemerintahan.Sementara itu, pencapresan Jokowi pada 2019 oleh Golkar pada Rapimnas yang terakhir hanya mampu meyakinkan 32,4% responden.Dampak elektoral Penilaian warga terhadap performa pemerintah yang bersifat retrospektif secara teoretis punya efek secara elektoral. Yang paling menikmati tentu Presiden Jokowi sendiri sebagai pucuk pemerintahan. Approval rating presiden yang membaik berujung pada melesatnya elektabilitas Jokowi sebagai presiden.Saat ini elektabilitas Jokowi sebagai Capres 2019 jika pemilu diadakan pada saat survei dilakukan melesat hingga 35,6% dengan simulasi top of mind (grafik 2). Nama-nama lain belum muncul sebagai penantang kuat Jokowi di 2019 nanti.

[Lihat grafik 2: Tren Pilihan Presiden (Top of Mind) pada 2019 (%)] Peningkatan atau penurunan performa pemerintahan Jokowi juga berimplikasi pada partai-partai koalisi pemerintah maupun partai oposisi. Secara teoretis, jika evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah baik, partai koalisi akan mendapat insentif elektoral. Jika tidak, justru partai-partai oposisi yang menangguk berkahnya secara elektoral.

Naiknya approval rating Jokowi juga memberikan berkah pada mitra partai pendukungnya. Namun, survei Indikator pada Agustus 2016 ini menemukan di antara partaipartai yang sejak awal mendukung pemerintahan Jokowi, PDIP-lah yang paling meraup keuntungan secara elektoral atas melonjaknya approval rating Jokowi. Jika pemilu legislatif diadakan saat ini, elektabilitas PDIP mencapai 26,6% jauh meninggalkan mitra koalisi yang lain. Asosiasi Jokowi ke PDIP lebih kuat jika dibandingkan dengan partai-partai pendukung Jokowi yang lain.

Menariknya, sejak Golkar menyatakan dukungan kepada pemerintah Jokowi pada kuartal pertama 2016, tren elektabilitas Golkar terus menanjak hingga mencapai 16,1%.Ini menunjukkan basis massa Golkar lebih suka elite pimpinannya tidak mengambil posisi diametral dengan pemerintah. Terlebih lagi tidak semua pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi memilih PDIP.Manuver Golkar dengan mendekat ke kekuasaan pada saat approval rating Jokowi sedang tinggi membuktikan kelihaian Golkar dalam merayu fan Jokowi untuk memilih partai ini.

Namun, perlu diingat, peta kekuatan partai politik masih bisa berubah.Ada dua alasan; pertama, loyalitas pemilih kepada partai yang sangat rendah. Survei Indikator menemukan tingkat party ID hanya sekitar 11%. Rendahnya identifikasi psikologis terhadap partai membuat gejolak elektoral terjadi secara dinamis.Selain itu, masa pemilu masih cukup jauh sehingga membuka setiap kemungkinan terjadi.

Kedua, opini publik tidaklah statis, bisa berubah bergantung pada seberapa positif atau negatif kinerja pemerintahan Jokowi ke depan. Jika ke depan kinerja Jokowi dipersepsi negatif, sangat mungkin elektabilitas partai-partai pendukung pemerintah akan terkena getahnya. Sebaliknya, sesuai dengan hukum besi demokrasi, partai-partai oposisilah yang akan dilirik pemilih.

Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi jangan terlalu bersenang diri dulu. Terlebih lagi masih banyak kinerja pemerintah yang dinilai kurang memuaskan seperti masalah mengurangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran. Jika masalah-masalah seperti ini tidak diselesaikan, itu bisa menjadi bom waktu yang akan menghancurkan ekspektasi publik kepada pemerintah.

Sumber: Media Indonesia, 15 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Jokowi Berkah bagi PDIP dan Golkar

 

KEPUASAN atas kerja dan keyakinan terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo berimbas positif bagi parpol pendukungnya, khususnya PDIP dan Golkar. Ganjalan hanya ada di program ekonomi riil. Parpol pendukung pun mesti bersatu agar ekonomi bangkit dan berdampak jangka panjang.

Ketua DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo mengakui gerak cepat pihaknya dalam mendukung pencalonan Jokowi di Pilpres 2019 berefek baik, yakni kenaikan elektabilitas sejak awal 2016. Namun, ia mewaspadai ancaman dari sisi ekonomi.

“Golkar berkepentingan menjaga elektabilitas Jokowi tidak anjlok. Kalau Jokowi gagal, yang dukung ikut ambles dan (parpol) yang berseberangan naik (popularitasnya). Ini tantangan ke depan bagi Golkar, juga PDIP dan partai pendukung lainnya, untuk jaga jangan sampai kebijakan-kebijakan ekonomi jadi blunder dan memengaruhi elektoral (parpol),“ urai Bambang dalam pemaparan Temuan Survei Nasional Indikator Politik Indonesia bertajuk Kinerja Pemerintahan Jokowi PascaReshuffle Jilid II, di Jakarta, kemarin.

Anggota Komisi XI DPR dari PDIP Maruarar Sirait menyatakan pihaknya terus mendukung program-program ekonomi Jokowi-JK yang prorakyat. Tingkat keyakinan dan kepuasan publik kepada Jokowi disebutnya akan naik tajam di 2018-2019 pada saat proyek-proyek infrastruktur besar selesai dibangun. “Ekonomi jadi prioritas, inflasi terkendali. Golkar pun da pat buah elektabilitas. Akan tetapi, rakyat juga ragu dengan konsistensi Golkar, apa murni, apa udang di balik batu,” sindir Maruarar.

Berdasarkan survei yang berlangsung pada 1-9 Agustus itu, dalam pertanyaan semiterbuka tentang pilihan partai jika pemilu legislatif dilakukan saat ini, PDIP dipilih 26,6% responden (naik dari hasil Pileg 2014 yakni 18,9%) dan Golkar 16,1% (naik dari 14,7%). Namun, angka parpol pendukung pemerintah lainnya tak melampaui hasil Pileg 2014. Bidang ekonomi Survei juga menunjukkan ada tiga besar bidang kerja pemerintah yang semuanya di bidang ekonomi, yang dianggap paling buruk.Ketiganya ialah pengurangan pengangguran (37% menyatakan makin buruk, 16% membaik), pengurangan jumlah orang miskin (34% memburuk, 18% membaik), dan penyediaan lapangan kerja (34% memburuk, 19% membaik).

Meski ada beberapa sektor ekonomi rakyat yang dianggap kurang memuaskan, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi, tingkat kepuasan warga atas kerja dan keyakinan masyarakat atas kepemimpinan Jokowi tetap naik.

Menurut Burhanudin, masyarakat Indonesia sangat mempertimbangkan persoalan harga atau tingkat inflasi sebagai ukuran kepuasan.Temuan survei pihaknya sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri membenarkan itu.

Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR Zulkieflimansyah menyebut sisi negatif dari persepsi masyarakat yang fokus pada stabilitas harga ialah tidak hadirnya kebijakan ekonomi berdampak jangka panjang. “Akhirnya penguasa cenderung melakukan langkah instan, impor, berutang, yang penting harga dikendalikan.“ (X-9) arief_hulwan@mediaindonesia.com

Sumber: Jokowi Berkah bagi PDIP dan Golkar

Media Indonesia, 15 Agustus 2016

EMAIL
arief_hulwan@mediaindonesia.com