SECARA definitif (by definition) maupun substantif, demo krasi menitikberatkan peran publik dalam proses politik.Pemerintahan yang demokratis ialah pemerintahan yang mengakomodasi partisipasi publik dalam setiap proses pembuatan kebijakan (Lembaga Survei Indonesia, 2010). Namun, proses perumusan kebijakan publik dalam mengagregasi kepentingan warga ialah masalah yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai institusi politKinerja Pemerintahan Jokowi Pasca-reshuffle Jilid Keduaik, mulai partai politik, parlemen, menteri atau kabinet, hingga presiden.
Para ahli ilmu politik mengenalkan konsep responsiveness, yaitu warga memberikan aspirasi atas suatu kebijakan dan partai politik atau pemerintah memberikan tanggapan berupa paket kebijakan hubungan antara masyarakat dan pemerintah yang disebut representasi (Jacobs and Shapiro, 2000). Dengan demikian, akuntabilitas ialah pada saat warga menilai balik proses implementasi kebijakan itu serta menuntut pertanggungjawaban pemerintah (Przworksi, Stokes and Manin, 1999).
Oleh karena itu, evaluasi publik menjadi krusial karena demokrasi mengandaikan setiap warga agar punya hak yang sama untuk menilai baik buruknya kinerja pemerintah.Oleh karena itu, akuntabilitas publik menjadi masalah yang krusial di pemerintahan yang demokratis.Untuk itu, Indikator Politik Indonesia melaku kan survei pada 1-9 Agustus 2016 dengan metode multistage random sampling. Dengan mewawancarai 1.220 responden secara tatap muka, margin of error survei ini sebesar 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.
Survei ini ingin menggali penilaian warga atas kinerja pemerintahan Jokowi jelang dua tahun pascadilantik sebagai presiden? Bagaimanakah evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah pasca-reshuffle jilid kedua?
Sejauh mana publik yakin perombakan kabinet mampu meningkatkan kinerja pemerintahan? Bagaimana sikap publik terhadap bergabungnya Golkar dan PAN ke pemerintahan? Kepuasan publik Pada Agustus 2016, survei Indikator Politik Indonesia menemukan mayoritas warga (68%) merasa puas dengan kinerja Jokowi sebagai presiden.Tingkat kepuasan warga terhadap Jokowi ini tertinggi sepanjang hampir dua tahun Jokowi menjabat sebagai presiden. Tingkat kepercayaan pada kemampuan presiden Jokowi untuk memimpin bangsa ini juga meningkat menjadi 74%. Hal ini modal psiko-politik yang sangat penting bagi stabilitas dukungan pada kepemimpin an nasional terlepas dari banyak masalah yang dihadapi bangsa ini.
[Lihat grafik 1: Paralel antara Kepuasan atas Kinerja Jokowi dan Persepsi atas Berbagai Kondisi (%)] Evaluasi atas kinerja Presiden berhubungan erat dengan persepsi atas berbagai kondisi (tabel 1). Namun dari berbagai kondisi yang dinilai, persepsi publik terhadap kinerja Presiden Jokowi paling kuat hubungannya dengan persepsi atas kondisi ekonomi (r=0,841). Dan sentimen atas kondisi ekonomi nasional ini sangat terkait dengan inflasi yang secara reguler dirilis BPS: Inflasi naik, sentimen negatif naik; inflasi turun, sentimen negatif turun.
Ketika ditelisik lebih jauh, kinerja pemerintah Jokowi yang dinilai paling mengalami kemajuan ialah pembangunan jalan-jalan umum, selanjutnya membuat pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas yang terjangkau oleh warga pada umumnya. Kerja pemerintah juga dinilai mengalami kemajuan dalam membangun sarana transportasi umum.
[Lihat tabel 1: Kinerja Pemerintah Jokowi dalam Menanggulangi Berbagai Masalah (%)] Namun, masih banyak warga yang menilai kerja pemerintah Jokowi `tidak ada perubahan’ dalam menjamin kesetaraan hak-hak warga negara apa pun latar belakangnya, meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi warga, menekan tingkat yang rendah korupsi uang negara. PR besar yang harus segera ditangani ialah mengurangi pengangguran, mengurangi jumlah orang miskin, dan menyediakan lapangan kerja (tabel 1).
Reshuffle dan rekonsolidasi politik Survei juga menemukan di antara publik yang tahu bulan lalu terjadi reshuffle kabinet (53%), mayoritas (74%) merasa yakin bahwa reshuffle tersebut akan membuat kinerja pe merintah Jokowi menjadi lebih baik.
Di antara menteri-menteri `baru’ hasil reshuffle kabinet Jokowi, yang mendapat kepercayaan paling tinggi dari masyarakat ialah Sri Mulyani (Menteri Keuangan). Reshuffle juga menjadi tanda me nguatnya dukungan politik partai partai ke Jokowi. Mayoritas publik (81,5%) berpendapat bahwa koalisi pemerintah yang makin membesar tersebut sebagai suatu yang positif (baik). Alasan utamanya, `presiden akan lebih mudah menjalankan pe merintahan karena mendapatkan kekuatan mayoritas di DPR’. Ini me nunjukkan masyarakat Indo nesia menyukai harmoni.
Ketika ditanyakan secara le bih spesifik atas bergabungnya Partai Golkar di pemerintahan Jokowi, 51,4% responden setuju atau sangat setuju dengan langkah Golkar tersebut. Namun, publik yang yakin bahwa Partai Golkar akan terus mendukung pemerintahan Jokowi jumlahnya hanya sekitar 33,9%. Artinya, publik masih ragu dengan komitmen Golkar mengawal pemerintahan.Sementara itu, pencapresan Jokowi pada 2019 oleh Golkar pada Rapimnas yang terakhir hanya mampu meyakinkan 32,4% responden.Dampak elektoral Penilaian warga terhadap performa pemerintah yang bersifat retrospektif secara teoretis punya efek secara elektoral. Yang paling menikmati tentu Presiden Jokowi sendiri sebagai pucuk pemerintahan. Approval rating presiden yang membaik berujung pada melesatnya elektabilitas Jokowi sebagai presiden.Saat ini elektabilitas Jokowi sebagai Capres 2019 jika pemilu diadakan pada saat survei dilakukan melesat hingga 35,6% dengan simulasi top of mind (grafik 2). Nama-nama lain belum muncul sebagai penantang kuat Jokowi di 2019 nanti.
[Lihat grafik 2: Tren Pilihan Presiden (Top of Mind) pada 2019 (%)] Peningkatan atau penurunan performa pemerintahan Jokowi juga berimplikasi pada partai-partai koalisi pemerintah maupun partai oposisi. Secara teoretis, jika evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah baik, partai koalisi akan mendapat insentif elektoral. Jika tidak, justru partai-partai oposisi yang menangguk berkahnya secara elektoral.
Naiknya approval rating Jokowi juga memberikan berkah pada mitra partai pendukungnya. Namun, survei Indikator pada Agustus 2016 ini menemukan di antara partaipartai yang sejak awal mendukung pemerintahan Jokowi, PDIP-lah yang paling meraup keuntungan secara elektoral atas melonjaknya approval rating Jokowi. Jika pemilu legislatif diadakan saat ini, elektabilitas PDIP mencapai 26,6% jauh meninggalkan mitra koalisi yang lain. Asosiasi Jokowi ke PDIP lebih kuat jika dibandingkan dengan partai-partai pendukung Jokowi yang lain.
Menariknya, sejak Golkar menyatakan dukungan kepada pemerintah Jokowi pada kuartal pertama 2016, tren elektabilitas Golkar terus menanjak hingga mencapai 16,1%.Ini menunjukkan basis massa Golkar lebih suka elite pimpinannya tidak mengambil posisi diametral dengan pemerintah. Terlebih lagi tidak semua pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi memilih PDIP.Manuver Golkar dengan mendekat ke kekuasaan pada saat approval rating Jokowi sedang tinggi membuktikan kelihaian Golkar dalam merayu fan Jokowi untuk memilih partai ini.
Namun, perlu diingat, peta kekuatan partai politik masih bisa berubah.Ada dua alasan; pertama, loyalitas pemilih kepada partai yang sangat rendah. Survei Indikator menemukan tingkat party ID hanya sekitar 11%. Rendahnya identifikasi psikologis terhadap partai membuat gejolak elektoral terjadi secara dinamis.Selain itu, masa pemilu masih cukup jauh sehingga membuka setiap kemungkinan terjadi.
Kedua, opini publik tidaklah statis, bisa berubah bergantung pada seberapa positif atau negatif kinerja pemerintahan Jokowi ke depan. Jika ke depan kinerja Jokowi dipersepsi negatif, sangat mungkin elektabilitas partai-partai pendukung pemerintah akan terkena getahnya. Sebaliknya, sesuai dengan hukum besi demokrasi, partai-partai oposisilah yang akan dilirik pemilih.
Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi jangan terlalu bersenang diri dulu. Terlebih lagi masih banyak kinerja pemerintah yang dinilai kurang memuaskan seperti masalah mengurangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran. Jika masalah-masalah seperti ini tidak diselesaikan, itu bisa menjadi bom waktu yang akan menghancurkan ekspektasi publik kepada pemerintah.
Sumber: Media Indonesia, 15 Agustus 2016