ETALASE-LANURA

Merajut info, menuai setetes pengetahuan


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Kinerja Pemerintahan Jokowi Pasca-reshuffle Jilid Kedua

SECARA definitif (by definition) maupun substantif, demo krasi menitikberatkan peran publik dalam proses politik.Pemerintahan yang demokratis ialah pemerintahan yang mengakomodasi partisipasi publik dalam setiap proses pembuatan kebijakan (Lembaga Survei Indonesia, 2010). Namun, proses perumusan kebijakan publik dalam mengagregasi kepentingan warga ialah masalah yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai institusi politKinerja Pemerintahan Jokowi Pasca-reshuffle Jilid Keduaik, mulai partai politik, parlemen, menteri atau kabinet, hingga presiden.

Para ahli ilmu politik mengenalkan konsep responsiveness, yaitu warga memberikan aspirasi atas suatu kebijakan dan partai politik atau pemerintah memberikan tanggapan berupa paket kebijakan hubungan antara masyarakat dan pemerintah yang disebut representasi (Jacobs and Shapiro, 2000). Dengan demikian, akuntabilitas ialah pada saat warga menilai balik proses implementasi kebijakan itu serta menuntut pertanggungjawaban pemerintah (Przworksi, Stokes and Manin, 1999).

Oleh karena itu, evaluasi publik menjadi krusial karena demokrasi mengandaikan setiap warga agar punya hak yang sama untuk menilai baik buruknya kinerja pemerintah.Oleh karena itu, akuntabilitas publik menjadi masalah yang krusial di pemerintahan yang demokratis.Untuk itu, Indikator Politik Indonesia melaku kan survei pada 1-9 Agustus 2016 dengan metode multistage random sampling. Dengan mewawancarai 1.220 responden secara tatap muka, margin of error survei ini sebesar 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%.

Survei ini ingin menggali penilaian warga atas kinerja pemerintahan Jokowi jelang dua tahun pascadilantik sebagai presiden? Bagaimanakah evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah pasca-reshuffle jilid kedua?
Sejauh mana publik yakin perombakan kabinet mampu meningkatkan kinerja pemerintahan? Bagaimana sikap publik terhadap bergabungnya Golkar dan PAN ke pemerintahan? Kepuasan publik Pada Agustus 2016, survei Indikator Politik Indonesia menemukan mayoritas warga (68%) merasa puas dengan kinerja Jokowi sebagai presiden.Tingkat kepuasan warga terhadap Jokowi ini tertinggi sepanjang hampir dua tahun Jokowi menjabat sebagai presiden. Tingkat kepercayaan pada kemampuan presiden Jokowi untuk memimpin bangsa ini juga meningkat menjadi 74%. Hal ini modal psiko-politik yang sangat penting bagi stabilitas dukungan pada kepemimpin an nasional terlepas dari banyak masalah yang dihadapi bangsa ini.

[Lihat grafik 1: Paralel antara Kepuasan atas Kinerja Jokowi dan Persepsi atas Berbagai Kondisi (%)] Evaluasi atas kinerja Presiden berhubungan erat dengan persepsi atas berbagai kondisi (tabel 1). Namun dari berbagai kondisi yang dinilai, persepsi publik terhadap kinerja Presiden Jokowi paling kuat hubungannya dengan persepsi atas kondisi ekonomi (r=0,841). Dan sentimen atas kondisi ekonomi nasional ini sangat terkait dengan inflasi yang secara reguler dirilis BPS: Inflasi naik, sentimen negatif naik; inflasi turun, sentimen negatif turun.

Ketika ditelisik lebih jauh, kinerja pemerintah Jokowi yang dinilai paling mengalami kemajuan ialah pembangunan jalan-jalan umum, selanjutnya membuat pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas yang terjangkau oleh warga pada umumnya. Kerja pemerintah juga dinilai mengalami kemajuan dalam membangun sarana transportasi umum.

[Lihat tabel 1: Kinerja Pemerintah Jokowi dalam Menanggulangi Berbagai Masalah (%)] Namun, masih banyak warga yang menilai kerja pemerintah Jokowi `tidak ada perubahan’ dalam menjamin kesetaraan hak-hak warga negara apa pun latar belakangnya, meningkatkan pemerataan kesejahteraan bagi warga, menekan tingkat yang rendah korupsi uang negara. PR besar yang harus segera ditangani ialah mengurangi pengangguran, mengurangi jumlah orang miskin, dan menyediakan lapangan kerja (tabel 1).

Reshuffle dan rekonsolidasi politik Survei juga menemukan di antara publik yang tahu bulan lalu terjadi reshuffle kabinet (53%), mayoritas (74%) merasa yakin bahwa reshuffle tersebut akan membuat kinerja pe merintah Jokowi menjadi lebih baik.

Di antara menteri-menteri `baru’ hasil reshuffle kabinet Jokowi, yang mendapat kepercayaan paling tinggi dari masyarakat ialah Sri Mulyani (Menteri Keuangan). Reshuffle juga menjadi tanda me nguatnya dukungan politik partai partai ke Jokowi. Mayoritas publik (81,5%) berpendapat bahwa koalisi pemerintah yang makin membesar tersebut sebagai suatu yang positif (baik). Alasan utamanya, `presiden akan lebih mudah menjalankan pe merintahan karena mendapatkan kekuatan mayoritas di DPR’. Ini me nunjukkan masyarakat Indo nesia menyukai harmoni.

Ketika ditanyakan secara le bih spesifik atas bergabungnya Partai Golkar di pemerintahan Jokowi, 51,4% responden setuju atau sangat setuju dengan langkah Golkar tersebut. Namun, publik yang yakin bahwa Partai Golkar akan terus mendukung pemerintahan Jokowi jumlahnya hanya sekitar 33,9%. Artinya, publik masih ragu dengan komitmen Golkar mengawal pemerintahan.Sementara itu, pencapresan Jokowi pada 2019 oleh Golkar pada Rapimnas yang terakhir hanya mampu meyakinkan 32,4% responden.Dampak elektoral Penilaian warga terhadap performa pemerintah yang bersifat retrospektif secara teoretis punya efek secara elektoral. Yang paling menikmati tentu Presiden Jokowi sendiri sebagai pucuk pemerintahan. Approval rating presiden yang membaik berujung pada melesatnya elektabilitas Jokowi sebagai presiden.Saat ini elektabilitas Jokowi sebagai Capres 2019 jika pemilu diadakan pada saat survei dilakukan melesat hingga 35,6% dengan simulasi top of mind (grafik 2). Nama-nama lain belum muncul sebagai penantang kuat Jokowi di 2019 nanti.

[Lihat grafik 2: Tren Pilihan Presiden (Top of Mind) pada 2019 (%)] Peningkatan atau penurunan performa pemerintahan Jokowi juga berimplikasi pada partai-partai koalisi pemerintah maupun partai oposisi. Secara teoretis, jika evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah baik, partai koalisi akan mendapat insentif elektoral. Jika tidak, justru partai-partai oposisi yang menangguk berkahnya secara elektoral.

Naiknya approval rating Jokowi juga memberikan berkah pada mitra partai pendukungnya. Namun, survei Indikator pada Agustus 2016 ini menemukan di antara partaipartai yang sejak awal mendukung pemerintahan Jokowi, PDIP-lah yang paling meraup keuntungan secara elektoral atas melonjaknya approval rating Jokowi. Jika pemilu legislatif diadakan saat ini, elektabilitas PDIP mencapai 26,6% jauh meninggalkan mitra koalisi yang lain. Asosiasi Jokowi ke PDIP lebih kuat jika dibandingkan dengan partai-partai pendukung Jokowi yang lain.

Menariknya, sejak Golkar menyatakan dukungan kepada pemerintah Jokowi pada kuartal pertama 2016, tren elektabilitas Golkar terus menanjak hingga mencapai 16,1%.Ini menunjukkan basis massa Golkar lebih suka elite pimpinannya tidak mengambil posisi diametral dengan pemerintah. Terlebih lagi tidak semua pemilih yang puas terhadap kinerja Jokowi memilih PDIP.Manuver Golkar dengan mendekat ke kekuasaan pada saat approval rating Jokowi sedang tinggi membuktikan kelihaian Golkar dalam merayu fan Jokowi untuk memilih partai ini.

Namun, perlu diingat, peta kekuatan partai politik masih bisa berubah.Ada dua alasan; pertama, loyalitas pemilih kepada partai yang sangat rendah. Survei Indikator menemukan tingkat party ID hanya sekitar 11%. Rendahnya identifikasi psikologis terhadap partai membuat gejolak elektoral terjadi secara dinamis.Selain itu, masa pemilu masih cukup jauh sehingga membuka setiap kemungkinan terjadi.

Kedua, opini publik tidaklah statis, bisa berubah bergantung pada seberapa positif atau negatif kinerja pemerintahan Jokowi ke depan. Jika ke depan kinerja Jokowi dipersepsi negatif, sangat mungkin elektabilitas partai-partai pendukung pemerintah akan terkena getahnya. Sebaliknya, sesuai dengan hukum besi demokrasi, partai-partai oposisilah yang akan dilirik pemilih.

Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi jangan terlalu bersenang diri dulu. Terlebih lagi masih banyak kinerja pemerintah yang dinilai kurang memuaskan seperti masalah mengurangi kemiskinan dan mengatasi pengangguran. Jika masalah-masalah seperti ini tidak diselesaikan, itu bisa menjadi bom waktu yang akan menghancurkan ekspektasi publik kepada pemerintah.

Sumber: Media Indonesia, 15 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Jokowi Berkah bagi PDIP dan Golkar

 

KEPUASAN atas kerja dan keyakinan terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo berimbas positif bagi parpol pendukungnya, khususnya PDIP dan Golkar. Ganjalan hanya ada di program ekonomi riil. Parpol pendukung pun mesti bersatu agar ekonomi bangkit dan berdampak jangka panjang.

Ketua DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo mengakui gerak cepat pihaknya dalam mendukung pencalonan Jokowi di Pilpres 2019 berefek baik, yakni kenaikan elektabilitas sejak awal 2016. Namun, ia mewaspadai ancaman dari sisi ekonomi.

“Golkar berkepentingan menjaga elektabilitas Jokowi tidak anjlok. Kalau Jokowi gagal, yang dukung ikut ambles dan (parpol) yang berseberangan naik (popularitasnya). Ini tantangan ke depan bagi Golkar, juga PDIP dan partai pendukung lainnya, untuk jaga jangan sampai kebijakan-kebijakan ekonomi jadi blunder dan memengaruhi elektoral (parpol),“ urai Bambang dalam pemaparan Temuan Survei Nasional Indikator Politik Indonesia bertajuk Kinerja Pemerintahan Jokowi PascaReshuffle Jilid II, di Jakarta, kemarin.

Anggota Komisi XI DPR dari PDIP Maruarar Sirait menyatakan pihaknya terus mendukung program-program ekonomi Jokowi-JK yang prorakyat. Tingkat keyakinan dan kepuasan publik kepada Jokowi disebutnya akan naik tajam di 2018-2019 pada saat proyek-proyek infrastruktur besar selesai dibangun. “Ekonomi jadi prioritas, inflasi terkendali. Golkar pun da pat buah elektabilitas. Akan tetapi, rakyat juga ragu dengan konsistensi Golkar, apa murni, apa udang di balik batu,” sindir Maruarar.

Berdasarkan survei yang berlangsung pada 1-9 Agustus itu, dalam pertanyaan semiterbuka tentang pilihan partai jika pemilu legislatif dilakukan saat ini, PDIP dipilih 26,6% responden (naik dari hasil Pileg 2014 yakni 18,9%) dan Golkar 16,1% (naik dari 14,7%). Namun, angka parpol pendukung pemerintah lainnya tak melampaui hasil Pileg 2014. Bidang ekonomi Survei juga menunjukkan ada tiga besar bidang kerja pemerintah yang semuanya di bidang ekonomi, yang dianggap paling buruk.Ketiganya ialah pengurangan pengangguran (37% menyatakan makin buruk, 16% membaik), pengurangan jumlah orang miskin (34% memburuk, 18% membaik), dan penyediaan lapangan kerja (34% memburuk, 19% membaik).

Meski ada beberapa sektor ekonomi rakyat yang dianggap kurang memuaskan, kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi, tingkat kepuasan warga atas kerja dan keyakinan masyarakat atas kepemimpinan Jokowi tetap naik.

Menurut Burhanudin, masyarakat Indonesia sangat mempertimbangkan persoalan harga atau tingkat inflasi sebagai ukuran kepuasan.Temuan survei pihaknya sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri membenarkan itu.

Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR Zulkieflimansyah menyebut sisi negatif dari persepsi masyarakat yang fokus pada stabilitas harga ialah tidak hadirnya kebijakan ekonomi berdampak jangka panjang. “Akhirnya penguasa cenderung melakukan langkah instan, impor, berutang, yang penting harga dikendalikan.“ (X-9) arief_hulwan@mediaindonesia.com

Sumber: Jokowi Berkah bagi PDIP dan Golkar

Media Indonesia, 15 Agustus 2016

EMAIL
arief_hulwan@mediaindonesia.com


Tinggalkan komentar

PENGELOLAAN GURU BERKEADILAN

Oleh Silahudin

KEBERADAAN guru, sulit untuk kita ingkari sebagai orang yang telah berjasa. Begitu pentingnya peran dan fungsinya dalam mencerdaskan manusia, dan menanamkan nilai-nilai, serta budaya terhadap anak didik.

     Martinis Yamin (2013:64) menjelaskan “di lembaga pendidikan guru menjadi orang pertama, bertugas membimbing, mengajar, dan melatih anak didik mencapai kedewasaan”.

     Sementara dalam kenyataannya, ragam pendapat dan sorotan terhadap guru dengan persoalan yang dihadapinya mulai soal kesejahteraan, kualitas guru, dan termasuk soal sebaran guru yang masih timpang.

     Dalam kaitan dengan kesejahteraan guru, harus diakui kini sudah mulai baik dibanding 10 tahun sebelumnya, di antaranya dengan tunjangan sertifikasi guru. Namun, hal itu bukan berarti persoalan selesai. Dalam pengelolaan guru pada dasarnya masih terhambat oleh persoalan pemenuhan kuantitatif beban kerja jam mengajar guru 24 jam dalam seminggu.

      Titik persoalannya, beban kerja guru cenderung tidak tercapai atau terpenuhi, meskipun tidak semua guru demikian.

     Hal itu terjadi terutama terkait masih adanya penumpukkan guru di wilayah-wilayah perkotaan di setiap provinsi.

Timpangnya pemerataan
     Pengelolaan guru selama ini menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah. Akan tetapi, persoalannya tidak seimbang alias timpang di semua daerah. Ada yang kelebihan dan ada yang kekurangan guru di setiap provinsi dan kabupaten/kota pada masing-masing tingkat sekolah.

     Pengelolaan guru merupakan kewajiban pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (lihat UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen pasal 24 ayat (1, 2, 3, dan 4)       

     Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan guru secara merata di semua polosok daerah untuk menjamin keberlangsungan pendidikan di semua tingkat pendidikan (sekolah).

     Persoalan yang masih mengganjal dalam hal distirbusi guru antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), tampak belum maksimal. Soal koordinasi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di satu sisi acapkali diiringi sok kuasa daerah merasa “memiliki” kewenangan seiring dengan alam otonomi daerah. Di sisi lain, pemerintah pusat nyaris tidak berdaya dalam penempatan guru-guru di setiap daerah, padahal dibayar APBN.

     Sejatinya harus ada satu visi pemahaman bersama antara pemerintah pusat dan daerah dalam penempatan, pengangkatan, dan bahkan pemindahan guru. Hal itu dilakukan dalam kerangka pemerataan kualitas pendidikan untuk semua dengan distribusi guru yang berkeadilan.

     Oleh karena itu pemetaan kelebihan, dan kekurangan guru pada semua daerah patut dilakukan sebagai bahan evaluasi penempatan dan pemindahan guru agar terpenuhinya baik terkait dengan beban kerja guru maupun dalam peningkatan kualitas pendidikan yang merata.

Terjaminnya pendidikan

     Keterjaminan pendidikan untuk masyarakat secara niscaya tidak bisa diabaikan oleh pemerintah. Pelayanan untuk menjamin perluasan akses, dan peningkatan mutu pendidikan nasional, sudah menjadi keharusan pemerintah menyediakan tenaga-tenaga pendidik pada semua tingkat sekolah.

     Pementingan pengangkatan, penempatan bahkan pemindahan guru merupakan bagian integral dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional di seluruh pelosok daerah nusantara. Oleh karena sudah jelas dalam Pasal 25 UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 74/ 2008 tentang Guru, Pasal 58 ayat (1, 2, dan 3), dan Pasal 59, terkait dengan kesanggupan guru dalam menjalani tugas profesinya sebagaai guru.

     Guru-guru yang sudah diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah, secara prinsip tidak bisa menolak penempatannya dimanapun. Oleh karena terkait “kontrak kerja” siap ditempatkan di wilayah nusantara (liihat UU No. 14 / 2005 Pasal 28, PP No. 74/2008 Pasal 62).

     Setelah proses pengangkatan, penempatan dan pemindahan guru dalam menjalankan tugas profesinya, apabila guru tersebut tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya dapat dibebastugaskan dengan hormat dan tidak dengan hormat (lihat Pasal 30 UU 14/2005).

     Dalam PP No. 74/2008, terkait sanksi adalah Guru yang tidak dapat memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik kehilangan hak untuk mendapat tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan. Guru yang tidak dapat memenuhi kewajiban melaksanakan pembelajaran 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan tidak mendapat pengecualian dari Menteri dihilangkan haknya untuk mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional atau subsidi tunjangan fungsional, dan maslahat tambahan.

Kondisi lapangan
     Guru sebagai tenaga professional seperti dijelaskan perundang-undangan, secara niscaya harus memiliki kualitas akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani (PP No. 74/2008 Pasal 2 dan 3). 

     Apakah semua daerah sudah terpenuhi sarana prasarananya, termasuk keberadaan guru? Apakah sebarannya benar-benar sudah memenuhi prinsip keadilan, yakni merata di semua daerah?

     Terkait pengelolaan guru baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), atau dilakukan bersama-sama, sejatinya secara ideal sudah tidak ada kekurangan, dan kelebihan guru sebarannya di masing-masing setiap daerah.

     Akan tetapi pada kenyataannya, masih terjadi penumpukan guru di satu daerah tertentu, dan di sisi lain justru amat banyak daerah kekurangan guru. Dalam Data Roadmap Manajemen ASN dan Perencanaan Formasi Tahun 2014, dijelaskan bahwa penyebaran guru di tiap daerah di Indonesia tidaklah merata.

     Kelebihan dan kekurangan guru untuk setiap jenjang pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak (TK), kekurangan guru sebanyak 10 kabupaten/kota dan 8 provinsi, sedangkan kelebihannya sebanyak 389 kabupaten/kota dan 33 provinsi.

     Di tingkat Sekolah Dasar (SD), kekurangan guru 418 kabupaten/kota dan 34 provinsi, sedangkan kelebihannya 59 kabupaten/kota dan 24 provinsi. Di Sekolah Menengah Pertama (SMP), kekurangan guru sebanyak 353 kabupaten/kota dan 33 provinsi, kelebihannya 119 kabupaten//kota dan 27 provinsi. 

     Sementara di sekolah menengah atas (SMA), kekurangan guru sebanyak 177 kabupaten/kota dan 31 provinsi, sedangkan kelebihannya 316 kabpaten/kota dan 33 provinsi.

     Pengelolaan guru membutuhkan perhatian lebih khusus, agar permasalahan penyebaran dan penempatannya di tiap daerah merata, tidak domplang seperti sekarang ini.

     Guru merupakan profesi yang mulia dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Keberadaannya baik dalam meningkatkan kualitas diri maupun kesejahteraannya sesungguhnya harus menjadi perhatian khusus pemerintah.

Sumber: tulisan ini dimuat HU Galamedia, Jum’at, 6 Februari 2015


Tinggalkan komentar

Perombakan Kabinet dan Kapling Politik

Oleh Silahudin

STABILITAS dan efektivitas pemerintahan dalam sistem kepartaian apapun, termasuk multipartai secara niscaya sangat dibutuhkan.

Negara Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru, salah satu pembedanya adalah menjamurnya partai politik (parpol) yang merupakan konsekuensi antusiasme demokratisasi politik masyarakat. Dinamika demokratisasi parpol dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari yang sebelum-belumnya terkerangkeng oleh sebuah sistem pemerintahan otoriter.

Itu sebabnya. kebebasan dalam mendirikan parpol di era reformasi ini pasang naik dan surut. Entah itu parpol ”sempalan” dari yang sudah ada, atau memang benar-benar baru. Itu semua merupakan bagian dinamisasi pergulatan kehidupan politik masyarakat.

Akan tetapi, yang sudah menjadi aksioma lahir dan berdirinya parpol tiada lain untuk merebut kekuasaan dalam pemerintahan dengan cara yang legal melalui pemilihan umum (pemilu).

Sistem multipartai di negara Indonesia ini, sudah menjadi catatan ”nasib” sejarah yang tidak bisa kita ingkari. Berbagai argumen berkehendak parpol tidak banyak pun terus menghiasi wacana kepolitikan nasional, walaupun faktanya, keberadaan parpol-parpol itu dari pemilu ke pemilu tidak kurang dari lebih 10 (sepuluh) parpol ikut pemilu (baca: pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014).

Jika dirunut dari hasil pemilu ke pemilu, menunjukkan bahwa tidak ada parpol yang mendulang suara mayoritas mutlak. Itu sebabnya, mau tidak mau untuk membentuk pemerintahan baru, setidaknya mendapat dukungan mayoritas parlemen (50% plus 1) digagas dengan melalui ”koalisi”. Ini artinya, menggambarkan bahwa perpolitikan nasional di era reformasi (sedikit banyak) telah mengubah peta kekuatan parpol-parpol, yang sebelumnya selalu didominasi oleh Golkar waktu Orde Baru.

Jalannya roda pemerintahan era reformasi sejak 1999 hingga sekarang (dengan bergantinya kepala negara atau pemerintahan) merupakan bagian integral kepolitikan nasional yang memang berbeda dengan sebelumnya.

Dinamisasi pemerintahan dengan pemilihan kepala negara atau Presiden, yang semula menjadi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai bentuk perwujudan kedaualatan rakyat, sejak tahun 2004 pemilihan Presiden tidak lagi diserahkan kepada MPR, melainkan langsung dipilih oleh rakyat.

Tidak adanya parpol yang memperoleh suara mayoritas mutlak, maka persoalan koalisi dalam setiap pembentukan pemerintahan pun (dalam sistem pemerintahan presidensil), tampak ”telah” menjadi keniscayaan yang tidak bisa diabaikan. Maksud sederhana dari koalisi itu, setidaknya adanya dukungan parpol-parpol di parlemen secara mayoritas untuk bergerak jalannya roda pemerintahan.

Pertimbangan parpol berkoalisi dalam pembentukan pemerintahan (baru), tidak bisa ”menutup mata” pasti ada hitung-hitungan ”politis” yang berarti bagi parpolnya masing-masing di pemerintahan, kendati koalisi pemerintahan itu, acapkali didengung-dengungkan bukan sekedar bagi-bagi ”jabatan politis”.

Pertimbangan mendasarnya adalah ”koalisi taktis” untuk memperoleh ”jabatan politis” di pemerintahan, sudah menjadi ”misi” politisnya. Inti persoalannya, idealisasi koalisi untuk mengakomodir secara representatif terhadap kekuatan-kekuatan politik yang riil di parlemen. 

Pertanyaan mendasarnya, apakah pemerintahan koalisi ini harus betul-betul didukung oleh suara mayoritas mutlak parpol di parlemen dalam penyelenggaraan pemerintahannya? Jawaban sederhananya, bahwa dukungan mayoritas parpol di parlemen atas pemerintahan menjadi yang tidak terhindarkan, bahkan merupakan suatu keniscayaan, agar roda pemerintahan berjalan stabil.

Akan tetapi, pemerintahan koalisi dalam jalankan roda pemerintahan yang efektif, masih belum menjadi kenyataan. Kegaduhan politik selalu saja terjadi, bahkan acapkali (kalau tidak selalu) justru datang dari parpol yang berkoalisasi atau pendukung pemerintahan. Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II di bawah kepemimpinan SBY, awal-awal pemerintahan ini dikejutkan dengan hak angket Century, dan hak angket mafia pajak.

Pada hak angket Century, didukung oleh mitra koalisi pemerintahan, yaitu Partai Golkar, PKS, dan PPP, sedangkan untuk hak angket mafia pajak kendati awal mulanya diajukan oleh Partai Demokrat (baca: mencabut dukungannya), kembali didukung oleh Partai Golkar dan PKS.

Gonjang ganjing pemerintahan KIB II pun tak bisa dielakkan, padahal kalau melihat realitas dukungan pemerintahan sebagai ”partai utama” sangat besar jumlahnya mencapai 75,54%.

Berbeda dengan pemerintahan SBY dalam KIB II yang didukung oleh koalisi parpol sebesar 75,54% di parlemen. Koalisi pemerintahan Jokowi – JK di parlemen didukung oleh PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Nasdem (36 kursi), PKB (47 kursi), dan Partai Hanura (16 kursi) yang memiliki 208 kursi di parlemen atau sekitar 37,14% (Baca: awal tahun pemerintahan). Sedangkan parpol di parlemen yang di luar pendukung pemerintahan sebanyak 352 kursi (atau 62,86%).

Dalam pemerintahan Jokowi – JK, perpolitikan nasional yang sering disebut kegaduhan politik pun menghiasi perjalanan pemerintahannya. Entah kegaduhan itu produktif atau sebaliknya, kontraproduktif atas jalannya roda pemerintahan, memang menjadi bagian yang tak terpisahakan dalam pemerintahan Kabinet Kerjanya.

Memang, dalam pemerintahan Jokowi – JK pun ternyata tidak berhenti dukungannya pada parpol yang dari awal menjadi pendukungnya, justru Jokowi pun melakukan komunikasi politik dengan beberapa parpol (seperti PPP dan PAN dan Partai Golkar) untuk mendukung bergabung dalam pemerintahannya.

Tentu saja dengan adanya ”pendatang baru” bergabung sebagai pendukung pemerintah, secara niscaya bagaimana membenahi simpul-simpul gesekan ”kepentingan”, agar tidak mengganggu terhadap jalannya roda pemerintahan Jokowi-JK ini.

Toh, parpol yang ikut berkoalisi mendukung pemerintahan, secara niscaya basisnya adalah ”kepentingan”. Koalisi itu ada karena adanya kepentingan yang sama dalam jabatan politis.

Dengan demikian, ke arah mana perubahan konfigurasi koalisi yang akan dibenahi, tampaknya memang pembagian jabatan politik yang adil, merupakan konsekuensi politis.
Koalisi itu bisa berjalan dengan efektif, bila memang egoisme politik dari parpol – parpol itu disimpan rapih-rapih, dikarenakan yang menjadi sandaran pentingnya bukan kepentingan golongan/ kelompoknya, namun kepentingan rakyat banyak dalam meningkatkan kesejahteraannya.*
Dutulis, 21 Juli 2016