ETALASE-LANURA

Merajut info, menuai setetes pengetahuan


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Kabinet Kerja

KERINDUAN publik atas penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, tampaknya telah menjadi keniscayaan tak bisa ditutupi. Hal ini terjadi karena selama pemerintahan koalisi partai-partai (era reformasi), selalu terulang transaksional dalam “tarik menarik” jabatan politis strategis.

Politik transaksional dalam mengisi jabatan menteri, atmosfernya selama ini terus menerus “mengotori” udara politik nasional yang secara sadar atau tidak membawa dampak atas apatisme rakyat terhadap pemerintahan.

Itu sebabnya, nomenklatur kabinet kerja (zaken cabinet) hari-hari ini terus didengung-dengungkan oleh kehendak publik. Keinginan publik terhadap presiden terpilih, sejatinya tidak terjebak pada “permainan politik” bagi-bagi kursi menteri semata, tetapi dalam mengarsiteki kabinetnya didasarkan atas kualifikasi kompetensi dan profesionalitas untuk pos-pos menterinya.

Perlu diingat, selama ini era reformasi hasil pemilu sejak 1999 hingga pemilu terakhir 2014, tidak ada satupun partai politik yang memperoleh suara secara mayoritas absolut, dan menguasai parlemen. Realitas politik itulah, secara sadar atau tidak, khususnya sejak Pemilihan Presiden 2004, tidak ada satu parpol pun yang memenuhi persyaratan untuk dapat mengusung capres-cawapresnya. Oleh karena itu, maka koalisi partai untuk mencalonkan capres – cawapres agar memenuhi persyaratannya menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Fakta koalisi partai dalam sistem pemerintahan presidential dewasa ini, memang harus diakui (telah) menjadi catatan sejarah kepolitikan Indonesia. Namun, titik simpul persoalannya, bukan karena ada atau tidak adanya koalisi dalam pemerintahan tersebut, tetapi bagaimana menempatkan orang-orang dalam kabinet pemerintahan presiden terpilih, menjadi “titik temu” antara kehendak publik dan pemimpin nasionalnya itu dalam penyelenggaraan pemerintahannya berjalan efektif melayani kepentingan umum (bonnum commune).

Kecerdasan Politik

Karena tidak adanya parpol yang suaranya mayoritas mutlak, maka diperlukan kecerdasan politik presiden terpilih dalam menyusun kabinetnya untuk merealisasikan visi misinya. Presiden terpilih “menyaring” orang-orang yang kompeten dengan profesionalitas dan integritasnya yang dapat dipertanggungjawabkan bekerja  keras untuk kepentingan publik.

Perlu disadari pula, presiden terpilih dengan situasi politik koalisi partai, tak dihindarkan adanya orang-orang atau kader-kader partai yang menempati posisi di kabinetnya. Pertanyaannya, apakah publik dapat mengapresiasinya atau justru sebaliknya? Di sini, kita tidak bisa “menghakimi” begitu saja terhadap kader-kader partai dalam menduduki jabatan sebagai menteri. Dalam arti, dikotomi kader partai atau nonpartai sejatinya ditutup rapat-rapat terlebih dahulu, agar tidak terjerumus pada sinisme sudut pandang terhadap kader-kader partai seolah-olah tidak “ada” yang professional. Profesionalitas seseorang itu bukan karena orang tersebut berada di dalam partai atau di luar partai.    

Dengan demikian, mendudukan seseorang pada jabatan menteri pada kabinet pemerintahan presidential, sesungguhnya merupakan hak prerogratif presiden yang sudah barang tentu atas pertimbangan yang matang sesuai dengan kualifikasi yang telah ditentukannya.

Seiring dengan itu, tidakkah presiden terpilih “bebas dari intervensi” orang-orang partai yang mensukseskannya? Memang, ketika pandangan publik masih sinis terhadap elite-elit partai (politik) yang dianggap haus kekuasaan, seakan tidak ada “tempat” bagi kader partai untuk duduk di kabinet. Namun sedari awal itu sudah harus disadari oleh presiden terpilih, bahwa hal itu bukan jadi maenstrem hambatan utama, karena pengangkatan (dan pemberhentian) menteri memang telah menjadi hak prerogratifnya presiden yang niscaya harus dihormati oleh partai-partai koalisi.

Pemerintahan yang efektif melayani kepentingan masyarakat memang ditunggu-tunggu publik. Harapan publik atas presiden terpilih membentuk kabinet kerja, bukan “isapan jempol” semata, justru perlu dibuktinyatakan sehingga tingkat kepercayaan publik terhadap jalannya roda pemerintahan diapresiasinya dengan baik.

Dengan demikian, soal kabinet itu sesungguhnya bukan terletak pada kader partai atau nonpartai, tetapi kabinet kerja yang jadi impian publik terrealisir. Dalam arti, pembantu-pembantu presiden dalam pemerintahan presidential itu siap kerja keras menjalankan program-program kerja yang telah ditetapkan sebagai turunan visi misinya.

Bila memang dalam kabinet tersebut menteri yang diangkat presiden dari kader partai, maka menteri yang bersangkutan segera menanggalkan egoisme politiknya. Pengabdian senyatanya sesungguhnya terhadap rakyat pemilik kedaulatan negara ini.

Persoalan negara bangsa ini cukup kompleks, setidak-tidaknya entah itu soal ekonomi yang dilansir masih lambat pertumbuhannya (apalagi pemerataannya), sosial budaya yang nyaris berada pada titik nadir karena tidak ada kepercayaan sesama anak bangsa (dalam arti, krisis saling menghormati dan menghargai perbedaan-perbedaan), dan soal pemerataan pendidikan yang tidak kalah urgennya, karena memang masih terjadi perbedaan yang “menganga” antara provinsi dan provinsi lainnya (termasuk di dalamnya antara kabupaten/kota di dalam satu provinsi).

Oleh karena itu, komitmen menjalankan pemerintahan yang efektif butuh orang-orang di kabinet pemerintahan periode 2014 – 2019, yang dengan tulus menanggalkan kepentingan politik sempit, seperti kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. Tanpa menginsyafi itu, hanya penumpukkan persoalanlah yang terus menghiasi pemerintahannya.

Tantangan pemerintahan presiden terpilih dalam memaknai kabinet kerja, di samping mengangkat menteri-menteri yang kompeten dan professional, juga harus diingat adalah ditopang oleh aparatur birokrasi pada masing-masing kementerian/lembaga itu yang memang “melepaskan baju” kepentingan dirinya (orienntasi kekuasaan).

Tuntutan harapan publik terhadap kabinet kerja tidak berhenti pada menteri-menterinya saja, akan tetapi, aparatur birokrasi yang menjalankan kebijakan-kebijakan kementerian/lembaga mesti menjadi perhatian pula, karena aparatur birokrasi itu yang menjalankan kebijakan-kebijakan program pemerintahan.

Bila aparatur birokrasinya tidak berorientasi pada pelayanan kepentingan umum, maka dapat saja program-program yang sudah ditentukan sebagai turunan dari visi misi presiden terpilih tersumbat atau mandeg. Dengan demikian, struktur birokrasi di masing-masing kementerian/lembaga pun dituntut memiliki kompetensi dan profesionalitas yang teruji, bukan aparatur birokrasi yang justru berorientasi pada kekuasaan. Toh kapitalisasi birokrasi di negara Indonesia ini masih menjadi persoalan yang belum mereformasi dirinya.*

Sumber : tulisan dimuat di HU Pikiran Rakyat, 12 Agustus 2014


Tinggalkan komentar

Anomali Politik

Pemilihan umum (pemilu) serentak 2019 ini, tinggal menghitung hari. Gelombang pesan melalui berbagai media social dan aplikasi whathsaap dan lain sejenisnya, dengan beragam isu terus menghantui.

Dominasi politik kekuasaan, terus menghias dikapitalisasi dengan berbagai “bahasa” melalui media sosial (facebook, whatsApp, twitter, dan lain sejenisnya). Perselingkuhan politik mengatasnamakan agama, terus menerus dinarasikan sebagai strategi dan taktik mengejar kavling – kavling kekuasaan.

Ruang publik yang sejatinya menjadi “hak milik” pemilik kedaulatan, justru terkikis karena nilai – nilai etika politik berbangsa dan bernegara, nyaris berada pada titik nadir.

Konstatasi politik nasional Indonesia ini, sedang gundah gulana. Institusi demokrasi, sibuk dengan panggung pencitraannya, baik itu di ranah suprastruktur maupun infrastruktur politiknya. Peran dan fungsi yang sejatinya dijalankan sebagaimana mestinya, terseok – seok karena digelayuti kepentingan yang sempit.

“Drama politik” basa basi perjuangan untuk kepentingan rakyat, terus dirajut dan dihiasi dengan berbagai argumentasi yang terdengar indah, namun pembumiannya, entahlah. Akan tetapi, sesungguhnya merajut selamatkan asset – asset kekuasaan yang ada dan merebut sumber – sumber daya kekuasaan lainnya, justru yang terjadi.

Jadi, basisnya, pengejaran kepentingan tak terbantahkan. Padahal, politik itu sebagai pengejaran kepentingan umum (bonnum commune), dimana politik adalah pengelolaan kehidupan dalam rangka public goals.

Pertama, rentetan problematika aspirasi masyarakat yang berkembang, sejatinya disambut dengan “riang gembira’ oleh institusi demokrasi.Kontribusi lembaga demokrasi senantiasa amat diperlukan kualitas perannya dalam merajut dan mengangkat martabat hak – hak rakyat.

Kedua, institusi – institusi demokrasi itu, berperan aktif mengembangkan nilai – nilai demokrasi secara substantif. Bukan berhenti di tingkat prosedural. Dalam arti, semua hak-hak rakyat terlindungi dan dijamin eksistensinya, karena lembaga demokrasi tanpa disangga oleh rakyat pun tidak mempunyai kekuatan yang berarti.

Persoalannya, politik mengejar kekuasaan bersembunyi dibalik sentimen – sentimen SARA dengan narasi – narasi kebencian dan hoaks, merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dewasa ini. Haruskah seperti itu dalam berjuang untuk memperoleh kekuasaan (di pemerintahan)?

Bila, memang itu yang diideologisasikan dan dikapitalisiasi dalam sikap tanduk politiknya, berarti ini alarm kematian demokrasi.

Inilah, persoalan yang tengah menghantui pergulatan politik baik di dunia nyata, lagi – lagi di dunia maya. Hujatan – hujatan kebencian terus diproduksi dan dikapitalisasi di berbagai media sosial (medsos) umumnya, dan secara khusus pun dalam perilaku tindakan politisnya.

Demokrasi dijadikan rujukan untuk membenarkan sikap dan perilakunya yang           “merasa benar”, tidak sebaliknya “benar merasa”. Ironis memang! Nilai – nilai demokrasi dijadikan tameng untuk membenarkan tindakannya.

Anomali memang! Hegemoni politik kelompok, “membuldoser” lainnya sedang “diideologisasikan” dalam sikap dan tindak tanduknya di dataran berbangsa dan bernegara ini.  Inilah tantangan atau ancaman dalam panggung politik kebangsaan Indonesia?


Tinggalkan komentar

Parpol, Aktor Peserta Pilkada

 

SALAH satu fungsi partai politik (parpol) secara niscaya adalah rekruitmen politik (kader partai) untuk menjadi salah satunya (bakal) calon kepala daerah – wakil kepala daerah, dalam (rangka) proses pengisian jabatan pimpinan daerah (pemerintahan) melalui proses pemilihan secara demokratis.

Dalam konteks ini, parpol secara sadar sudah mulai melakukan proses penjaringan bakal calon kepala daerah – wakil kepala daerah dalam Pilkada Serentak tahun 2018. Pilkada Serentak tahun 2018 diselenggarakan pada 171 daerah (17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten) sudah di ambang pintu.

Dan parpol sebagai institusi demokrasi dalam penjaringannya sesuai dengan mekanisme internal parpol masing – masing, yang bisa jadi setiap parpol memiliki kekhasan (perbedaan) satu sama lain dalam rekruitmen bakal calon kepala daerah – wakil kepala daerah. Persoalannya, sudahkah parpol menyiapkan kader – kader (terbaiknya) dalam ikut serta bertarung secara demokratis dalam pilkada?

Parpol mempunyai tanggung jawab sebagai aktor utama peserta pilkada menyiapkan kadernya untuk dipilih oleh rakyat di daerah masing – masing. Mental untuk menyiapkan kadernya abai, berarti parpol tersebut gagal dalam kaderisasi. Inilah tantangan bagi parpol untuk menyiapkan kader terbaiknya.

Pilkada Serentak tahun 2018, merupakan arena demokratis dimana rakyat pemilih menentukan alternatif pilihan kepala daerah – wakil kepala daerah, untuk memimpin daerahnya. Karena itulah, parpol sudah sejatinya (untuk mengembalikan citranya di mata publik) harus benar – benar “menyuguhkan” calon kepala daerah yang mumpuni untuk mengembangkan, dan melaksanakan pemberdayaan pembangunan masyarakat dan daerahnya ke arah yang baik seiring dengan kontekstual daerahnya maisng – masing.

Dengan demikian, secara prinsip, setiap parpol dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah. Namun parpol yang punya hak untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah itu, demi tertib “aturan main” pun, atau prinsip keadilan harus sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Pertama, parpol bisa sendiri mengajukan pasangan calon kepala daerah bilamana memiliki kursi 20 persen di legislatif daerah (DPRD) atau 25 persen suara hasil pemilu. Kedua, gabungan parpol (baik yang memiliki kursi di legislatif daerah maupun tidak memiliki kursi) mempunyai hak untuk mengajukan pula pasangan calon kepala daerah dengan ketentuan minimal tadi (20 persen kursi atau 25 persen suara hasil pemilu). Dengan demikian, dalam pemilihan kepala daerah, institusi demokrasi yang mempunyai hak dan kewajiban mengajukan pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah, adalah parpol.

Menyimak fungsi parpol yaitu merekrut calon pemimpin daerah, mestinya ini menjadi bagian integral parpol jauh – jauh hari menyiapkan kadernya untuk bertarung dalam pilkada serentak. Sehingga, tidak ada alasan parpol tidak bisa menyiapkan kadernya, kalau memang parpol tersebut secara sungguh – sungguh melakukan kaderisasinya secara baik dan benar. Kenapa demikian?

Pertama, kalau kita tengok  pada Pilkada Serentak tahun 2015 dan 2017, banyak daerah, hanya ada satu pasangan calon (calon tunggal). Dalam Pilkada Serentak 2015 dari 269 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 13 daerah hanya ada satu pasangan calon. Dan selanjutnya, KPU saat itu memperpajang masa pendaftaran untuk 13 daerah tersebut, kendati hasilnya dari 13 daerah yang masa pendaftarannya diperpanjang, hanya 6 daerah saja ada yang melakukan pendaftaran pasangan calon, dan sisanya 7 daerah masih tetap calon tunggal. Begitu pun di Pilkada Serentak 2017, dari 101 daerah, 9 (Sembilan) daerah, hanya memiliki calon tunggal.

Dari fakta tersebut, kondisi ini, diakui atau tidak, ada semacam hegemoni atau semacam “konspirasi politik” parpol, yang secara sengaja, sehingga rakyat pemilik kedaulatan di daerah tidak diberi kebebasan alternatif pilihan untuk menentukan pemimpin daerahnya.

Kedua, parpol sebagai institusi demokrasi yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, dengan sadar “tidak ikut” partisipasi dalam menyiapkan kadernya untuk bertarung dalam pilkada tersebut. Ini ironis, dengan menggebu – gebunya parpol berjuang untuk memperoleh kekuasaan politik, akan tetapi dalam pilkada tidak ikut serta mengajukan calon kepala daerah (baca: mengusung sendiri atau gabungan parpol). Dalam bahasa lain, parpol – parpol itu, diakui atau tidak, tidak siap bersaing atau kompetisi dalam pilkada serentak (2015 dan 2017) dengan beragam macam alasanya, seperti antara lain karena incumbent (petahana) misalnya, yang diasumsikan sangat kuat, dan tidak mempunyai kader yang mumpuni untuk memimpin daerah, serta juga argumen – argumen irasional lainnya pula.

Dengan demikian, calon tuggal dalam pilkada serentak, bukan merupakan hal yang menggembirakan bagi kehidupan sirkulasi pemilihan pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah secara demokratis. Justru diakui atau tidak diakui, parpol memperkosa hak – hak politik rakyat untuk menentukan pilihannya dalam memlih pasangan kepala daerah – wakil kepala daerah tersebut. Sebab, rakyat yang sudah memiliki hak pilih dan mempunyai kebebasan untuk menentukan pemimpin daerahnya terkerangkeng dengan disuguhkan calon tunggal.

Dari titik simpul persoalan itulah, maka untuk Pilkada Serentak tahun 2018 yang diikuti 171 daerah, sekali lagi bahwa parpol sebagai institusi yang berhak mengajukan pasangan calon tersebut, merupakan momentum mengembalikan citra (kepercayaan) parpol di mata publik dengan menyuguhkan pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerahnya yang mumpuni dalam mengelola kehidupan pemerintahan dan pembangunan daerah serta memberdaykan masyarakatnya dengan program – program yang rasional komprehensif dapat dilaksanakan.

Itu sebabnya, belajar ambil hikmah dari pilkada serentak sebelumnya, tampaknya pilkada serentak tahun 2018 bagi parpol – parpol sebagai aktor utama peserta pilkada, harus menyiapkan dan menyediakan pasangan calon kepala daerah – wakil kepala daerah yang menjadi alternatif pilihan masyarakat di daerahnya masing – masing. Bukan sebaliknya, pilkada serentak di banyak daerah yang pasangan calonnya tunggul. Kalau ini yang terjadi di Pilkada Serentak 2018, berarti inilah merupakan potret fungsi parpol dalam rekruitmen politik (pemimpin) sebagai kegagalan kaderisasi menyiapkan kader – kader (politik) pemimpin untuk jabatan kepala daerah. Dengan demikian, sesungguhnya tidak ada alasan bagi parpol atau gabungan parpol tidak menyiapkan kader – kadernya untuk bersaing dalam pilkada serentak.*

 


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Tanya Kembali Reformasi Polri

KOMISARIS Jenderal Tito Karnavian sudah terpilih jadi Kapolri setelah melalui uji kelayakan (fit and proper test) di DPR (khususnya Komisi III). Lepas dari proses prosedural di lembaga wakil rakyat itu, Kapolri terpilih tak bisa lepas dari agenda reformasi birokrasi Polri yang sudah dicanangkannya.

Dorongan publik terhadap pembenahan di internal kepolisian terus menerus disuarakan. Bahkan hujatan atau kritikan terhadap Polri seperti misalnya bahwa Polri masih bersikap elitis dan kultul militerismenya masih kental. Padahal, Polri sebagaimana dimanatkan Undang-Undang Dasar 1945, menjaga keamanan, ketertiban, dan mengayomi. Pada titik simpul inilah, grand strategy reformasi Polri, patut ditanyakan kembali.

Grand strategy reformasi Polri sebagai titik pijak untuk “memulihkan” kepercayaan publik terhadap institusi Polri menjadi krusial terinternalisasi dalam perilaku polisi. Reformasinya, jangan sampai terkesan hanya sekadar lip service, yang tidak membumi terhadap persoalan-persoalan yang sesungguhnya terjadi di lembaga tersebut. Trust building sebagai agenda pembenahan Polri tahap pertama, apakah sudah terinternalisasi pada semua lapisan di tubuh kepolisian ?

Membangun kepercayaan publik terhadap Polri merupakan bagian integral yang harus terus dilakukan institusi Polri. Membangun kepercayaan itu, sejati secara sungguh-sungguh membumi dalam perilaku Polri itu sendiri. Dalam bahasa lain, sudahkah trust building sebagai agenda reformasi Polri berhasil?

Itu sebabnya, membangun kepercayaan masyarakat menuju Polri yang mandiri, profesisonal dan dapat dukungan publik tentu saja patut dikembalikan lagi kepada kepolisian itu sendiri.

Mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi ini, hakekatnya adalah menata ulang kelembagaan dan mental-mental serta perilaku Polri, sehingga dengan menata itu, secara niscaya Polri menjadi dambaan semua orang.

Memang, tahap ini sudah terlewati (baca: berakhir di tahun 2009), sebagai serangkaian keberlanjutan tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap partnership building (membangun kemitraan) dan selanjutnya strive for exellence.

Reformasi Polri tahap pertama, sesungguhnya merupakan bagian tak terpisahkan, atau rangkaian ke tahap-tahap berikutnya, yaitu tahap kedua (2010-2014), sebagai tahap partnership building (membangun kemitraan).

Kesungguhan untuk mereform diri Polri dari Polri sendiri dengan niat yang tulus mengembalikan kepercayaan dan dukungan publik terhadap Polri.  Polri dengan tugasnya yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 13, adalah: a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b) menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Itu sebabnya, seiring dengan tugas-tugas tersebut, niscaya sulit tercapai jikalau peranserta masyarakat pun tidak ada, atau publik apatis. Karena adigium di masyarakat “daripada lapor ke polisi, lebih baik diam”. Ini sesungguhnya mencerminkan krisis kepercayaan publik terhadap lembaga kepolisian, karena kepolisian di mata publik masih bersifat diskriminatif, tidak (kurang) peka, kurang profesional, dan arogan dalam memberikan pelayanan.

Bahkan, disadari atau tidak, sesungguhnya berada dalam ruang lingkup yang menunjukkan karena Polri masih “bermain-main” dengan tugas yang diembankannya belum dapat menyelesaikan dan memuaskan masyarakat.

Ujian yang tidak mudah untuk diselesaikan dan diyakinkan terhadap publik, akan tetapi, suka tidak suka itu harus dijalankan dan diselesaikan dengan memperlihatkan wajah kepolisian yang peduli terhadap kepentingan publik, dan bukan kepentingan penguasa dan alat pemodal besar.

Reformasi kultural Polri adalah dengan mengedepankan perilaku Polri yang simpatik, menghargai hak-hak sipil, bersahabat, tidak memperlihatkan wajah arogan atau karakteristik militer.

Bila memang publik masih memperlihatkan ketidakpercayaan terhadap Polri, tak perlu disesali, justru sebagai input akibat dari belum berubahnya perilaku Polri selama ini, sehingga Polri “tersandera” oleh citra buruk di mata masyarakat/publik.

Seiring dengan persoalan-persoalan yang dihadapi Polri, tentu saja harapan aktif maupun pasif publik terhadap komitmen Polri dalam membenahi dirinya dengan mengoptimalkan reformasi birokrasi Polri agar fungsional dengan kultur sipilnya. Semoga*
Bandung, 29 Juni 2016