KERINDUAN
publik atas penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, tampaknya telah menjadi
keniscayaan tak bisa ditutupi. Hal ini terjadi karena selama pemerintahan
koalisi partai-partai (era reformasi), selalu terulang transaksional dalam
“tarik menarik” jabatan politis strategis.
Politik transaksional dalam mengisi jabatan menteri, atmosfernya selama
ini terus menerus “mengotori” udara politik nasional yang secara
sadar atau tidak membawa dampak atas apatisme rakyat terhadap pemerintahan.
Itu sebabnya, nomenklatur kabinet kerja (zaken cabinet) hari-hari ini terus didengung-dengungkan oleh
kehendak publik. Keinginan publik terhadap presiden terpilih, sejatinya tidak
terjebak pada “permainan politik” bagi-bagi kursi menteri semata, tetapi dalam
mengarsiteki kabinetnya didasarkan atas kualifikasi kompetensi dan
profesionalitas untuk pos-pos menterinya.
Perlu diingat, selama ini era reformasi hasil pemilu sejak 1999 hingga
pemilu terakhir 2014, tidak ada satupun partai politik yang memperoleh suara
secara mayoritas absolut, dan menguasai parlemen. Realitas politik itulah,
secara sadar atau tidak, khususnya sejak Pemilihan Presiden 2004, tidak ada
satu parpol pun yang memenuhi persyaratan untuk dapat mengusung
capres-cawapresnya. Oleh karena itu, maka koalisi partai untuk mencalonkan
capres – cawapres agar memenuhi persyaratannya menjadi keniscayaan yang tidak
bisa dihindari.
Fakta koalisi partai dalam sistem pemerintahan presidential dewasa ini,
memang harus diakui (telah) menjadi catatan sejarah kepolitikan Indonesia.
Namun, titik simpul persoalannya, bukan karena ada atau tidak adanya koalisi
dalam pemerintahan tersebut, tetapi bagaimana menempatkan orang-orang dalam
kabinet pemerintahan presiden terpilih, menjadi “titik temu” antara kehendak
publik dan pemimpin nasionalnya itu dalam penyelenggaraan pemerintahannya
berjalan efektif melayani kepentingan umum (bonnum
commune).
Kecerdasan Politik
Karena tidak adanya parpol yang suaranya mayoritas mutlak, maka
diperlukan kecerdasan politik presiden terpilih dalam menyusun kabinetnya untuk
merealisasikan visi misinya. Presiden terpilih “menyaring” orang-orang yang
kompeten dengan profesionalitas dan integritasnya yang dapat
dipertanggungjawabkan bekerja keras
untuk kepentingan publik.
Perlu disadari pula, presiden terpilih dengan situasi politik koalisi
partai, tak dihindarkan adanya orang-orang atau kader-kader partai yang
menempati posisi di kabinetnya. Pertanyaannya, apakah publik dapat
mengapresiasinya atau justru sebaliknya? Di sini, kita tidak bisa “menghakimi”
begitu saja terhadap kader-kader partai dalam menduduki jabatan sebagai
menteri. Dalam arti, dikotomi kader partai atau nonpartai sejatinya ditutup
rapat-rapat terlebih dahulu, agar tidak terjerumus pada sinisme sudut pandang
terhadap kader-kader partai seolah-olah tidak “ada” yang professional.
Profesionalitas seseorang itu bukan karena orang tersebut berada di dalam
partai atau di luar partai.
Dengan demikian, mendudukan seseorang pada jabatan menteri pada kabinet
pemerintahan presidential, sesungguhnya merupakan hak prerogratif presiden yang
sudah barang tentu atas pertimbangan yang matang sesuai dengan kualifikasi yang
telah ditentukannya.
Seiring dengan itu, tidakkah presiden terpilih “bebas dari intervensi”
orang-orang partai yang mensukseskannya? Memang, ketika pandangan publik masih
sinis terhadap elite-elit partai (politik) yang dianggap haus kekuasaan, seakan
tidak ada “tempat” bagi kader partai untuk duduk di kabinet. Namun sedari awal
itu sudah harus disadari oleh presiden terpilih, bahwa hal itu bukan jadi maenstrem hambatan utama, karena
pengangkatan (dan pemberhentian) menteri memang telah menjadi hak
prerogratifnya presiden yang niscaya harus dihormati oleh partai-partai
koalisi.
Pemerintahan yang efektif melayani kepentingan masyarakat memang
ditunggu-tunggu publik. Harapan publik atas presiden terpilih membentuk kabinet
kerja, bukan “isapan jempol” semata, justru perlu dibuktinyatakan sehingga
tingkat kepercayaan publik terhadap jalannya roda pemerintahan diapresiasinya
dengan baik.
Dengan demikian, soal kabinet itu sesungguhnya bukan terletak pada kader
partai atau nonpartai, tetapi kabinet kerja yang jadi impian publik
terrealisir. Dalam arti, pembantu-pembantu presiden dalam pemerintahan
presidential itu siap kerja keras menjalankan program-program kerja yang telah
ditetapkan sebagai turunan visi misinya.
Bila memang dalam kabinet tersebut menteri yang diangkat presiden dari
kader partai, maka menteri yang bersangkutan segera menanggalkan egoisme
politiknya. Pengabdian senyatanya sesungguhnya terhadap rakyat pemilik
kedaulatan negara ini.
Persoalan negara bangsa ini cukup kompleks, setidak-tidaknya entah itu
soal ekonomi yang dilansir masih lambat pertumbuhannya (apalagi pemerataannya),
sosial budaya yang nyaris berada pada titik nadir karena tidak ada kepercayaan
sesama anak bangsa (dalam arti, krisis saling menghormati dan menghargai
perbedaan-perbedaan), dan soal pemerataan pendidikan yang tidak kalah urgennya,
karena memang masih terjadi perbedaan yang “menganga” antara provinsi dan provinsi
lainnya (termasuk di dalamnya antara kabupaten/kota di dalam satu provinsi).
Oleh karena itu, komitmen menjalankan pemerintahan yang efektif butuh
orang-orang di kabinet pemerintahan periode 2014 – 2019, yang dengan tulus
menanggalkan kepentingan politik sempit, seperti kepentingan pribadi, kelompok
dan golongan. Tanpa menginsyafi itu, hanya penumpukkan persoalanlah yang terus
menghiasi pemerintahannya.
Tantangan pemerintahan presiden terpilih dalam memaknai kabinet kerja,
di samping mengangkat menteri-menteri yang kompeten dan professional, juga
harus diingat adalah ditopang oleh aparatur birokrasi pada masing-masing
kementerian/lembaga itu yang memang “melepaskan baju” kepentingan dirinya
(orienntasi kekuasaan).
Tuntutan harapan publik terhadap kabinet kerja tidak berhenti pada
menteri-menterinya saja, akan tetapi, aparatur birokrasi yang menjalankan
kebijakan-kebijakan kementerian/lembaga mesti menjadi perhatian pula, karena
aparatur birokrasi itu yang menjalankan kebijakan-kebijakan program
pemerintahan.
Bila aparatur birokrasinya tidak berorientasi pada pelayanan kepentingan umum, maka dapat saja program-program yang sudah ditentukan sebagai turunan dari visi misi presiden terpilih tersumbat atau mandeg. Dengan demikian, struktur birokrasi di masing-masing kementerian/lembaga pun dituntut memiliki kompetensi dan profesionalitas yang teruji, bukan aparatur birokrasi yang justru berorientasi pada kekuasaan. Toh kapitalisasi birokrasi di negara Indonesia ini masih menjadi persoalan yang belum mereformasi dirinya.*
Sumber : tulisan dimuat di HU Pikiran Rakyat, 12 Agustus 2014