ETALASE-LANURA

Merajut info, menuai setetes pengetahuan


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016


Tinggalkan komentar

Anomali Politik

Pemilihan umum (pemilu) serentak 2019 ini, tinggal menghitung hari. Gelombang pesan melalui berbagai media social dan aplikasi whathsaap dan lain sejenisnya, dengan beragam isu terus menghantui.

Dominasi politik kekuasaan, terus menghias dikapitalisasi dengan berbagai “bahasa” melalui media sosial (facebook, whatsApp, twitter, dan lain sejenisnya). Perselingkuhan politik mengatasnamakan agama, terus menerus dinarasikan sebagai strategi dan taktik mengejar kavling – kavling kekuasaan.

Ruang publik yang sejatinya menjadi “hak milik” pemilik kedaulatan, justru terkikis karena nilai – nilai etika politik berbangsa dan bernegara, nyaris berada pada titik nadir.

Konstatasi politik nasional Indonesia ini, sedang gundah gulana. Institusi demokrasi, sibuk dengan panggung pencitraannya, baik itu di ranah suprastruktur maupun infrastruktur politiknya. Peran dan fungsi yang sejatinya dijalankan sebagaimana mestinya, terseok – seok karena digelayuti kepentingan yang sempit.

“Drama politik” basa basi perjuangan untuk kepentingan rakyat, terus dirajut dan dihiasi dengan berbagai argumentasi yang terdengar indah, namun pembumiannya, entahlah. Akan tetapi, sesungguhnya merajut selamatkan asset – asset kekuasaan yang ada dan merebut sumber – sumber daya kekuasaan lainnya, justru yang terjadi.

Jadi, basisnya, pengejaran kepentingan tak terbantahkan. Padahal, politik itu sebagai pengejaran kepentingan umum (bonnum commune), dimana politik adalah pengelolaan kehidupan dalam rangka public goals.

Pertama, rentetan problematika aspirasi masyarakat yang berkembang, sejatinya disambut dengan “riang gembira’ oleh institusi demokrasi.Kontribusi lembaga demokrasi senantiasa amat diperlukan kualitas perannya dalam merajut dan mengangkat martabat hak – hak rakyat.

Kedua, institusi – institusi demokrasi itu, berperan aktif mengembangkan nilai – nilai demokrasi secara substantif. Bukan berhenti di tingkat prosedural. Dalam arti, semua hak-hak rakyat terlindungi dan dijamin eksistensinya, karena lembaga demokrasi tanpa disangga oleh rakyat pun tidak mempunyai kekuatan yang berarti.

Persoalannya, politik mengejar kekuasaan bersembunyi dibalik sentimen – sentimen SARA dengan narasi – narasi kebencian dan hoaks, merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri dewasa ini. Haruskah seperti itu dalam berjuang untuk memperoleh kekuasaan (di pemerintahan)?

Bila, memang itu yang diideologisasikan dan dikapitalisiasi dalam sikap tanduk politiknya, berarti ini alarm kematian demokrasi.

Inilah, persoalan yang tengah menghantui pergulatan politik baik di dunia nyata, lagi – lagi di dunia maya. Hujatan – hujatan kebencian terus diproduksi dan dikapitalisasi di berbagai media sosial (medsos) umumnya, dan secara khusus pun dalam perilaku tindakan politisnya.

Demokrasi dijadikan rujukan untuk membenarkan sikap dan perilakunya yang           “merasa benar”, tidak sebaliknya “benar merasa”. Ironis memang! Nilai – nilai demokrasi dijadikan tameng untuk membenarkan tindakannya.

Anomali memang! Hegemoni politik kelompok, “membuldoser” lainnya sedang “diideologisasikan” dalam sikap dan tindak tanduknya di dataran berbangsa dan bernegara ini.  Inilah tantangan atau ancaman dalam panggung politik kebangsaan Indonesia?


Tinggalkan komentar

Mengarsiteki Indonesia dengan Seni

Pada hari Jum’at, 26 Agustus 2016, saya dengan beberapa teman mengunjungi pameran “Koleksi Seni Kepresidenan Republik Indonesia” di Galeri Nasional. Bagi saya yang awam dunia lukis melukis, pameran itu menarik untuk dicermati dalam berbagai sudut.

Dalam optik sosiologis, bahwa karya-karya lukisan tersebut menggambarkan “fakta sosial” yang memotret realitas yang diangkat dalam lukisan tetsebut dalam zamannya, namun tak lekang dimakan waktu.

Dalam perspektif politik, bahwa karya-karya lukisan itu bisa jadi alat diplomasi setidaknya untuk mengenalkan dan sekaligus pula sebagai sarana membangun hubungan dalam bernegara.

Karya seni juga memiliki nilai ekonomi yang signifikan. Karya-karya seni itu memiliki bobot dan kualifikasi ekonomi yang tinggi.oleh karena itu, apresiasi terhadap karya “goresan” tangan para pelukis tersebut patut dapat “acungan jempol”.

Dibalik nilai-nilai sosial, ekonomi, politik, dan nilai budaya, secara niscaya muatan-muatan filosofis sangat tajam memotret yang memang real dalam kehidupan masyarakat. Dan bisa juga mengabstraksikan yang memang masih abstrak namun bisa terjadi dalam kehidupan.

Memahami seni dan budaya bangsanya bagian yang tak terlisahkan dalam merajut kehidupan politik yang “indah” dan “harmonis” dalam menggapai makna keadilan bagi sosial kemasyarakatan negara bangsanya.

Mengelola negara dengan “enak” dan bukan “seenaknya’ terpatri dengan harapan-harapan yang diarahkan dalam ideologi negara Indonesia, yaitu Pancasila.

“Temu” harapan “kadet-kader” warga bangsa ini dengan elit-elitnya merupakan bagian krusial dalam menggodog kebijakan-kebijakan “pembangunan” yang mencerminkan wajah keadilan sosial, keadilan teritorial, dan keadilan- keadilan dalam ekonomi, politik dan hukum.

Perjalanan negara bangsa dapat dideskripsikan dalam bentuk goresan-goresan tinta berupa karya-karya seni tersebut. Pesan dari seni lukis itu dapat “tertangkap” perjalanan peradaban betbangsa dan bernegara.

Keindahan Indonesia dengan keanekaragaman budaya dan beribu-ribu pulau yang esotik , secara niscaya butuh kearifan pengelolaannya yang tidak bias dari ekosistemnya. Keseimbangan itu sangat penting dan harus terperhatikan dengan baik.
Kerinduan akan keadilan sosial itulah kunci keseimbangan dalam menata ke-Indobesia-an yang “tertib”(order) , bukan disorder akibat dampak dari ketidakadilan dalam semua segmen kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jadi, mengarsiteki Indenesia dengan sentuhan seni, berarti “memelihara” ke-Indonesia-an yang sensitif dalam pergaulan dan pergumulan kehidupan negara bangsa yang tidak abai atas kehendak kepentingan bersama (bonnum comnune).
Perjalanannya, dapat terpotret lewat ‘goresan juang kemerdekaan’ memaknai arti bernegara dan berbangsa sudah sampai kemana nilai-nilai berke-Tuhan-an; nilai-nilsi kemanusiaan yang beradab; nilai-nilai persatuan (dalam keserbanekaan); nilai-nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan petwakilan; dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 29 Agustus 2016